Setelah Presiden Jokowi menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan, masih ada aspek atau klaster lain dalam RUU Cipta Kerja yang tetap harus dibahas di tengah pandemi corona. Keputusan untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sudah tepat, sembari menunggu kritik dan masukan dari masyarakat terutama elemen buruh. Meskipun beberapa elemen masyarakat tetap melakukan penolakan di sektor lain, namun pembahasan secara keseluruhan RUU Cipta Kerja harus tetap dilakukan dengan mengutamakan pembahasan klaster dan pasal-pasal yang tidak kontroversial.
Di beberapa negara di Asia seperti Korea, Taiwan, Malaysia dan Singapura, pembahasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sangat penting dalam transformasi ekonomi. KEK merupakan salah satu komponen penting dalam RUU ini yang dapat meningkatkan industrialisasi di Indonesia. Selama ini, KEK yang dibangun di Indonesia belum ada yang berhasil, karena KEK dipandang belum begitu menarik bagi investor.
Indonesia sebenarnya sudah lama menggunakan metode ini, namun belum berhasil karena tidak adanya integrasi yang baik antar wilayah, terutama dalam hal manajemen rantai pasok atau supply chain. Namun, penerapan RUU Cipta Kerja dengan poin KEK juga perlu dipertimbangan secara hati-hati. Pasalnya, dari sekitar 5.400 kawasan ekonomi khusus di seluruh dunia, tidak semuanya berhasil. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah konektivitas atau kemudahan koneksi dengan pusat-pusat produksi di dunia melalui global value chain atau pusat-pusat konsumsi dunia. Sampai sekarang Indonesia belum menjadi bagian penting dari global value chain.
Aturan KEK dalam RUU Cipta Kerja ini diharapkan akan mampu menciptakan kondisi yang mendukung dan menarik investor, sehingga KEK dapat beropersi dengan baik dan mampu memutar roda perekonomian di setiap wilayah yang juga diharapkan agar berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami stagnan di angka 5% per tahun. Angka pertumbuhan ekonomi tersebut memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua dalam anggota negara-negara G20. Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Sementara itu, untuk tumbuh dalam kisaran 5,3% sampai 5,5% saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8% sampai 9%. Sedangkan, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari 5,5% diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10% (double digit).
Meski demikian, pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94% per tahun. Salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia. Global Competitiveness Report/GCR 2019) mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke posisi 50. Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit. Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Biaya untuk memulai usaha yang mendapatkan skor di peringkat ke-67.
Secara teoritis, daya saing dan investasi menunjukkan hubungan yang positif. Artinya, ketika daya saing suatu negara mengalami kenaikan, maka investasi di negara tersebut juga akan meningkat. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah terobosan yang mampu mengkonfigurasi ulang hambatan-hambatan tersebut, salah satunya melalui RUU Cipta Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H