Mohon tunggu...
Anindya Nur Aprillea
Anindya Nur Aprillea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjajaran

Isu Sosial Politik Global

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mereka Polemik Internal Partai Politik di Indonesia dalam Kacamata Manajemen Partai Politik: Ambang Degradasi dan Instabilitas

22 Oktober 2023   22:53 Diperbarui: 22 Oktober 2023   23:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Buah Reformasi 1998 silam telah melahirkan inklusivitas perubahan pada tataran kelembagaan di Indonesia, baik dari segi al maupun konseptual maupun praktikal. Salah satu perubahan yang diadopsi pasca tumbangnya rezim Orde Baru adalah pemberlakuan sistem multipartai dalam bingkai sistem presidensial yang disinyalir sebagai bentuk efisiensi sistem politik yang berlaku. Alih-alih mewujudkan optimalisasi, praktik multipartai dalam negara demokrasi nyatanya tidak terlepas dari peluang-peluang konflik internal partai politik itu sendiri. Meminjam istilah Lili Romli (2017) menyatakan bahwa konflik dalam tubuh partai politik cenderung disebabkan oleh beberapa faktor pilihan antara koalisi hingga oposisi.

Pada hakikatnya, munculnya masalah dalam internal partai politik diakibatkan adanya konflik dalam partai politik tersebut. Kecenderungan perpecahan tersebut secara tidak langsung menunjukkan betapa lemahnya sistematika dalam tubuh sebuah partai politik. Selain itu, pengelolaan kelembagaan dalam manajemen konflik yang lemah menjadi polemik yang melatarbelakangi konflik internal tersebut. Berbeda dengan polemik eksternal partai politik yang mencakup masalah perbedaan pandangan ideologi partai, visi-misi, dan platform, potensi konflik internal partai politik cenderung didorong oleh beberapa kondisi seperti watak tradisionalisme partai, dinamika kaderisasi partai, fenomena kutu loncat, hingga konflik dualisme partai politik.

Selanjutnya, berbicara mengenai Intra-Party Democracy, setiap partai politik memiliki mekanisme tersendiri dalam menentukan pemimpin dan struktur kepengurusan untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya masing-masing, baik melalui musyawarah, voting dan aklamasi sesuai dengan AD/ART-nya. 

Demokrasi Intra-Partai atau Intra-Party Democracy mengacu pada aktualisasi pengambilan keputusan demokratis dalam internal partai politik yang secara utuh melibatkan partisipasi, perwakilan, dan pemberdayaan anggota partai dalam proses pengambilan keputusan partai politik. Anggota partai memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat, berpartisipasi dalam diskusi, dan memberikan suara pada masalah partai seperti perumusan kebijakan, pemilihan kandidat, dan pemilihan kepemimpinan. Dalam hal ini, prinsip transparansi, inklusivitas, dan akuntabilitas dalam struktur partai begitu ditekankan.

Demokrasi Intra-Partai dapat dikatakan sebagai sebuah strategi internal yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah internal partai melalui cara yang demokratis, dengan melibatkan partisipasi anggota partai. Hal tersebut bertujuan jangka panjang untuk mencapai kesuksesan dalam pemilihan umum dan mengurangi konflik yang terjadi dalam proses suksesi kepemimpinan partai. Selain itu, Intra-Party Democracy merupakan sebuah teori yang menjelaskan bagaimana partai politik seharusnya dikelola dalam sebuah negara yang demokratis. 

Terlepas dari strategi yang ditawarkan melalui implementasi Intra-Party Democracy, terdapat tantangan yang kerap menghantui dalam proses merealisasikan Intra-Party Democracy itu sendiri, seperti masalah personalisasi partai politik, hal ini merupakan kondisi dimana seorang tokoh atau pemimpin mempunyai kedudukan lebih penting dibandingkan dengan posisi partai atau identitas kolektifnya. Terkadang, mekanisme pengisian gerbong kekuasaan yang tidak melewati proses demokratis atau sering kali berlangsung secara kolusif dan nepotis inilah yang menyebabkan beberapa posisi strategis internal partai politik dengan mudahnya diisi oleh orang-orang terdekat atau memiliki hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya. Beberapa hal itulah yang membuat demokrasi Intra-Partai sulit terealisasi dan cenderung menghambat berjalannya manajemen partai politik.

Menyoal polemik internal partai politik juga tidak dapat dilepaskan dari faktor kaderisasi partai politik. Pertama, proses pengkaderan partai politik menjadi konflik yang rentan terjadi dalam internal partai politik. Kegagalan partai politik dalam memunculkan kader-kader baru tentu akan menghambat reformasi internal, terutama terkait regenerasi dan revitalisasi sebuah partai politik yang menjegal kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Dalam menjawab polemik tersebut, revitalisasi penerapan pola kaderisasi yang sesuai dengan mekanisme rekrutmen mulai dari survei hingga penetapan yang merepresentasikan fungsi partai politik, menjadi keniscayaan untuk mengatasi problematika tentang kaderisasi partai politik. Akibat gagalnya proses kaderisasi dapat berimplikasi pada ambiguitas jenjang karir, karena anggota partai politik menjadi tidak memiliki kepastian karir dalam partai politik. 

Selain itu, kegagalan kaderisasi juga dapat berimbas kepada kecemburuan elite politik senior dengan bakal kader baru hingga melahirkan fenomena menaikkan non kader yang potensial untuk meraup suara melalui popularitas dan modal. Dalam mengatasi hal ini, optimalisasi pengelolaan partai politik yang jelas untuk membentuk ikatan ideologis antar kader yang mengikat satu sama lain menjadi urgensi tersendiri, sehingga keanggotaan partai politik harus mengakar dan memperjuangkan ideologi yang sejalan dengan partai politik menjadi output yang harus diwujudkan bersama.

Kedua, Fenomena Kutu Loncat sebagai ekor konflik internal partai politik. Fenomena politisi kutu loncat bukan hanya sebatas politikus yang mudah berpindah-pindah partai politik, namun juga menyangkut dengan mudahnya seorang kader bergonta-ganti ideologi. Hal ini menunjukkan minusnya etika berpolitik, karena pemberian perilaku istimewa ini akan berdampak ke masalah lain dalam lingkup partai politik yang lebih luas. Lagi-lagi, upaya yang dapat dilakukan harus merujuk pada optimalisasi ideologi dan identitas partai politik melalui advokasi kepentingan internal antar kader, karena hal inilah yang menjadi keypoints dalam merepresentasikan kemapanan suatu partai politik.

Ketiga, menyoal konflik dualisme partai politik yang meliputi komunikasi internal, bipolaritas kepentingan politik, dan perselisihan kepengurusan internal partai politik. Komunikasi internal dalam sebuah partai politik merupakan hal yang sangat krusial, mulai dari fungsi menyebarkan informasi antar kader hingga mewakili kepentingan partai di masyarakat. Oleh karena itu, pimpinan masing-masing partai di tingkat nasional, regional, dan lokal harus mencoba membangun sistem komunikasi yang efektif dan tajam merujuk ke seluruh lapisan kader partai. Dalam konteks beberapa partai, komunikasi internal partai tidak berjalan dengan baik efisien. 

Kurangnya informasi yang sampai kepada anggota partai menimbulkan berbagai miscommunication satu dengan lain. Hal ini tentu menyulut pertanyaan tentang bagaimana anggota partai bisa mewakili atau membela posisi partainya jika mereka tidak mendapat informasi yang cukup mereka? Kondisi dasar untuk mencapai efektivitas yang tidak terpenuhi melalui proses komunikasi, sering terjadi pada asosiasi partai daerah yang tidak memiliki daftar identitas aktual pimpinan dan anggota partai. Selanjutnya, pembahasan mengenai bipolaritas kepentingan politik secara pragmatis melibatkan antara idealisme seorang kader partai yang dihadapkan dengan ideologi partai politik yang tidak sejalan akan mencederai keberlangsungan internal suatu partai politik.

Keempat, menyangkut mengenai kapabilitas anggota partai politik, dimana partai politik yang seharusnya menciptakan kader-kader berkualitas dan berintegritas untuk menempati jabatan publik sebagai representasi politik yang mewakili kehendak rakyat, nyatanya dalam sebagian besar kasus empirik justru malah mencerminkan sebaliknya. Terlepas dari adanya ketentuan sistem parliamentary threshold yang berlaku pada faktanya berpeluang mempengaruhi efektivitas partai politik dalam melakukan rekrutmen politik, yang hanya akan berfokus pada kuantitas bukan pada kualitas secara mendalam. 

Dalam hal yang berkaitan dengan fokus utama partai politik dalam melakukan pemenuhan suara melalui jalan rekrutmen politik, begitu mungkin dapat terjadi penurunan standarisasi yang diterapkan oleh partai politik itu sendiri. Entah berkaitan dengan kualifikasi individunya atau pembelokan tujuan atau kepentingan partainya baik sementara atau musiman pada saat rekrutmen atau mengubah tujuan partai secara mendasar.

Pada awal kemunculannya, partai politik terdiri atas orang yang mempunyai nilai, pandangan, dan cita-cita yang sama karena setiap orang memiliki orientasi politik yang berbeda-beda sehingga perlu dihimpun dalam sebuah parpol itu sendiri. Namun kini, banyak partai politik yang memilih kader-kader yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan popularitasnya, dan bukan berdasar pada kapasitas serta kompetensinya. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik mengutamakan perspektif popularitas alih-alih kemampuan intelektualitas dan rekam jejak. Ada pula pemberitaan terkait menteri, anggota legislatif pusat dan daerah, dan kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan karena melakukan tindak pidana korupsi telah menjadi preseden buruk bagi citra partai politik bersangkutan. Hal ini tentunya menjadi sebuah faktor internal yang mempengaruhi manajemen partai politik karena persoalan ini berasal dari anggota partai itu sendiri yang melakukan tindakan amoral dan pidana. 

Marcus Mietzner mengemukakan kebanyakan korupsi di Indonesia ditandai dengan gejala peningkatan korupsi yang signifikan oleh elite partai yang menduduki kursi di lembaga negara (Djalil, 2014). Hal ini marak terjadi karena disinyalir oleh semakin besarnya biaya politik, terutama dalam pencalonan. Di samping biaya operasional, biaya kampanye juga membutuhkan banyak pendanaan ditambah lagi dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi dan periklanan, belum lagi apabila terdapat calon-calon pemimpin yang menggunakan money politics, maka pembiayaan politik akan semakin mahal. Konsekuensinya, sebagian besar oknum menyalahgunakan APBN/APBD untuk menutupi pembengkakan ongkos politik yang menjadi tunggangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun