Mohon tunggu...
Anindya Nur Aprillea
Anindya Nur Aprillea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjajaran

Isu Sosial Politik Global

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Penetapan Upah Minimum Buruh: Kesejahteraan untuk Siapa?

26 Desember 2022   23:11 Diperbarui: 26 Desember 2022   23:24 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dengan banyaknya penduduk yang tersebar maka secara otomatis akan terdapat pula keberagaman profesi yang ada. Salah satu profesi yang paling banyak digeluti oleh masyarakat ialah profesi buruh. Sejarah gerakan buruh di Indonesia tidak akan dapat terlepaskan dari dinamika gejolak politik bangsa Indonesia dalam melakukan perjuangan pembebasan dari belenggu kolonialisme penjajahan yang terjadi pada masa itu.

Pada masa kolonialisme buruh mengalami nasib yang. sangat mengenaskan dimana pada saat itu para buruh dibayar dengan upah yang sangat rendah bahkan tidak diberikan bayaran sepeserpun dan para buruh diberlakukan dengan cara yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, munculah kaum menengah terpelajar sebagai gerakan kelompok yang memberikan pengaruh sangat besar dalam perkembangan perjuangan gerakan buruh. Kelompok kelas menengah dengan kegigihannya telah berhasil menjadi pemrakarsa utama dalam mengumpulkan dukungan rakyat dan mengatur suatu pergerakan politik nasionalis yang dapat memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. 

Dalam perjalanannya, setelah Indonesia merdeka atau lebih tepatnya pada saat masa Orde Lama (1945-1965), kaum buruh telah berhasil menjadi salah satu penopang utama kekuatan rezim yang sedang berkuasa, dimana Soekarno melakukan redistribusi pendapatan dan kekayaan dari pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga kapitalisme sangat sulit untuk masuk. Soekarno juga memberikan perhatian kepada para kaum buruh dengan cara mengeluarkan regulasi mengenai perlindungan buruh dan jaminan atas hak berorganisasi. Keadaan tersebut berbanding terbalik setelah masa Orde Lama hancur dan memasuki masa kegelapan Indonesia yaitu masa Orde Baru.

Presiden Soeharto melalui Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai wadah tunggal serikat buruh selalu mencoba melakukan berbagai intervensi terhadap seluruh pergerakan buruh. Politik perburuhan pada masa Orde Baru telah berhasil memperkecil kesempatan dan peningkatan peluang taraf hidup para buruh, sebab kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah seolah hanya berpihak pada kaum elite guna menekan kemungkinan terjadinya pertentangan yang berasal dari kaum buruh atau rakyat kalangan bawah. 

Hal ini mengakibatkan segala kebijakan yang terbentuk hanya mementingkan hajat kaum elit. Politik pada masa Orde Baru memposisikan kaum buruh sebagai alat produksi untuk mendorong adanya peningkatan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi. Tragisnya para buruh secara tidak langsung telah menjadi salah satu unsur penting dalam pelanggengan hegemoni kekuasaan dan depolitisasi kehidupan. Buruh seolah hanya dianggap sebagai mesin produksi yang harus selalu mengorbankan tenaganya guna menghasilkan sesuatu tanpa upah atau UMR yang sesuai. 

Para pengusaha meraup seluruh keuntungan yang didapatkan tanpa berfikir jika para buruh memiliki bagian atas keuntungan tersebut. Pada akhirnya hubungan yang terjalin antara pengusaha atau majikan dengan para buruh dapat dikatakan bersifat eksploitatif dan diskriminatif, hal ini disebabkan karena terjadinya perampasan hak buruh tidak hanya mengenai untung produksi saja, tetapi juga mengenai hak hidup manusia yang bermartabat dan beradab. 

Konflik perjuangan kelas buruh yang masih menjadi polemik hingga saat ini merupakan konflik yang terjadi antara buruh dengan pemilik modal atau kaum kapitalis. Perjuangan ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik yang diakui bagi kaum buruh. Latar belakang munculnya konflik perjuangan kelas buruh dapat dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dan sosial di berbagai negara. Konflik perjuangan kelas buruh pada akhirnya akan berujung pada ketidakadilan. 

Dalam memahami ketidakadilan yang terjadi pada kaum buruh, kita dapat menggunakan pemahaman pemikiran John Rawls mengenai teori keadilannya. Keadilan menurut Rawls yaitu kolaborasi dua unsur antara kebebasan (freedom) dengan kesamaan (fairness). Apabila menggunakan teori Rawls, ketidakadilan yang terbentuk antara kaum kapitalis dengan para buruh dapat terjadi karena telah hilangnya rasa empati mengenai kesetaraan (equality), dimana seharusnya equality adalah kunci dalam konsepsi keadilan. 

Konsep justice as fairness yang diciptakan oleh Rawls wajib menjadi panduan dasar dalam melakukan perjuangan kesetaraan buruh baik dalam hal pemenuhan hak, kewajiban, ataupun kesempatan dan kesejahteraan hidup. Pada zaman sekarang ini, perkembangan ekonomi yang cenderung mengutamakan keuntungan ekonomi dapat mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat besar antara kaum buruh dengan pemilik modal. Kaum buruh seringkali mengalami keterpurukan dan ketidakadilan, terutama perihal penghasilan yang rendah, kondisi kerja yang tidak layak, dan hak-hak yang tidak terpenuhi. 

Hal ini menyebabkan munculnya gerakan-gerakan perjuangan kelas buruh yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Perjuangan kelas buruh dapat dilakukan dengan cara-cara yang berbeda, seperti melalui aksi unjuk rasa hingga perjuangan politik. Konflik perjuangan kelas buruh merupakan salah satu aspek penting dari perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia di seluruh dunia.

Hari Buruh di Indonesia hampir setiap kalinya diperingati dengan diadakannya berbagai aksi dan demonstrasi oleh para buruh. Aksi buruh bukan hanya berjalan dengan mengkritisi pihak internal perusahaan saja, tetapi juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Adapun resistensi-resistensi yang disampaikan para buruh tidak selalu dapat terpenuhi, namun tetap saja aksi yang mereka lakukan mampu memberikan pengaruh dan bukti bahwa buruh merupakan salah satu aktor produksi atau bahkan aktor politik yang seharusnya juga dapat diperhitungkan dalam arena politik. 

Pada masa-masa sekarang ini, banyak perusahaan melakukan perekrutan pekerja kontrak dengan upah yang semakin murah dan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan oleh para buruh dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, setiap tahunnya para buruh berusaha agar harapan mereka dapat didengar pemerintah sebagai pengambil kebijakan ataupun para pengusaha dengan rutin mengadakan aksi buruh nasional yang jatuh dan diperingati pada hari buruh internasional bertepatan pada tanggal 1 November.

Polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang digaungkan sejak tahun 2020 tidak kunjung usai. Pada mulanya, pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja diasumsikan sebagai upaya untuk membenahi dan mengatur ulang regulasi dalam suatu undang-undang, termasuk upaya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya secara merata untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, termasuk kalangan buruh, membuat undang-undang tersebut cenderung menampilkan subjektivitas yang tinggi. 

Berbicara mengenai implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, kalangan buruh menjadi salah satu fokus yang tidak dapat dipisahkan. Substansi dalam undang-undang tersebut sangat berpotensi menurunkan kesejahteraan setiap buruh di seluruh Indonesia, baik dari segi upah, beban kerja, maupun kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. Munculnya aksi unjuk rasa oleh kalangan buruh di Indonesia merupakan implikasi nyata, Undang-Undang Cipta Kerja dinilai telah menghapus beberapa aturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai sangat merugikan.

Alih-alih mewujudkan kesejahteraan buruh, beberapa pasal yang menyangkut orientasi buruh berpotensi melanggar hak asasi manusia dalam hak bekerja (Sitio dan Suhesti, 2021:47). Pasal-pasal yang melekat dengan polemik kesejahteraan buruh juga membahas mengenai lemahnya perlindungan hak-hak buruh. Dalam hal ini, Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi mempertimbangkan inflasi saat menetapkan upah minimum. Selain itu, penghapusan Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK). 

Artinya, penyamarataan upah minimum di seluruh kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan regional dalam persoalan biaya hidup tidak mampu menuntaskan polemik kesejahteraan buruh. Akibatnya, banyak pekerja yang tidak mampu memenuhi biaya hidup sehari-hari untuk mencapai taraf hidup yang layak. 

Regulasi yang bias berpotensi menimbulkan perlakuan tidak adil antar pihak yang berkaitan, catatan ini merupakan sebuah  kemunduran dari undang-undang baik dari segi substansi maupun pragmatis. Perbedaan persepsi dan kurangnya sosialisasi antara pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat menyebabkan miskonsepsi dari berbagai pihak dalam memahami Undang-Undang Cipta Kerja yang belum mampu memberikan jaminan kepastian hukum terkait taraf hidup dan penetapan upah buruh yang layak bagi setiap stakeholder yang bersangkutan (Sjaiful, 2021).

Upah merupakan hal pokok yang telah diatur dalam undang-undang. Pemenuhan kebutuhan pekerja melalui penetapan upah minimum yang layak menjadi tanggung jawab negara karena. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menyatakan bahwa, dengan adanya penetapan Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembahasan upah dinilai sangat merugikan, hal ini dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, dimana menjadikan upah buruh pekerja di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat tidak mengalami kenaikan. 

Pada tahun 2021, terdapat sekitar 11 kota/kabupaten mengalami kenaikan upah hanya sebesar 2,28%, jadi sangat sulit sekali bagi para buruh pekerja mendapatkan taraf hidup yang layak. Harga bahan pokok yang terus melambung diiringi dengan inflasi dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sepanjang tahun 2022, taraf kenaikan inflasi yang tidak kurang dari 5,7% masih tidak sebanding dengan upah buruh pekerja. Inflasi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan gejolak kenaikan harga-harga secara berkelanjutan.

Kecenderungan kenaikan harga-harga tersebut juga berdampak terhadap pertumbuhan laju ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Tsalsalaila et al, 2022). Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai keadaan meningkatnya pendapatan karena produksi barang dan jasa secara terukur dalam jangka waktu tertentu. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Di Provinsi Jawa Barat, tingkat inflasi dari tahun ke tahun menunjukkan eskalasi yang signifikan, implikasi kenaikan inflasi tersebut berdampak dalam skala nasional, salah satunya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.

Hal ini tentu mempengaruhi penetapan upah minimum buruh sebagai bagian dari masyarakat umum, termasuk kekhawatiran penetapan undang-undang yang tumpang tindih dan berkedok mencapai kesejahteraan. Problematika itulah yang menyebabkan kalangan buruh terus menggaungkan aksi unjuk rasa sejak tahun 2020 hingga 2022, dengan output yang diharapkan pemerintah dapat mencabut ketidakadilan yang menyangkut tenaga kerja. 

Lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang disahkan yaitu Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Buruh tahun 2023, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, baik dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat yang melahirkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat mengenai kenaikan upah minimum yang berkisar 7--7,88%. 

Walaupun kebijakan tersebut dinilai lebih baik daripada Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021, penetapan tersebut masih belum optimal bagi para buruh pekerja yang mengupayakan kenaikan upah minimum sebesar 10--13% berdasarkan perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang nyata.

Secara fundamental, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah menjamin perlindungan dan penetapan upah yang layak bagi buruh pekerja. Eksistensi Undang-Undang Cipta Kerja cenderung menampilkan disharmonisasi akibat lemahnya kedudukan pasal-pasal yang dinilai tidak mampu menyelesaikan permasalahan, terutama dalam bidang ekonomi, revisi tersebut cenderung membatasi ruang gerak buruh untuk berkolaborasi memperjuangkan hak sebagaimana mestinya. 

Lagi-lagi, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP SPSI) Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa berbagai gejolak yang dilakukan kaum buruh merupakan wujud penolakan payung hukum yang tidak sesuai. Bagaimana pemerintah mengupayakan pemberian upah buruh yang layak, apabila kenaikan tersebut tidak sepadan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Catatan penting terkait penetapan upah minimum di Jawa Barat seharusnya hanya berlaku bagi buruh pekerja 0--12 bulan, namun implementasinya, banyak pengusaha atau pabrik yang memanfaatkan momentum kebijakan tersebut untuk ikut diterapkan secara keseluruhan. 

Artinya, masih banyak temuan fakta lapangan yang menyatakan bahwa jumlah upah yang diterima oleh buruh di bawah satu tahun dengan buruh yang sudah bekerja puluhan tahun mendapatkan nominal upah yang sama. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang tidak sejalan dengan ketetapan awal, sehingga kelayakan upah kalangan buruh masih harus diperjuangkan dan menjadi pekerjaan bersama. 

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sejatinya dengan adanya penetapan upah minimum buruh termasuk di Jawa Barat terbukti memberikan pengaruh terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja di dalamnya. Hal ini sejalan dengan teori permintaan yaitu, apabila upah minimum mengalami kenaikan, maka tenaga kerja yang dibutuhkan cenderung sedikit, sebaliknya apabila upah minimum mengalami penurunan, setiap perusahaan akan dengan mudah menyerap tenaga kerja (Wihastuti dan Rahmatullah, 2021).

Perusahaan dengan pekerja memiliki hubungan kerja yang diawasi dengan hukum yang berlaku, maka wajib bagi pihak perusahaan untuk mengikuti aturan dan prosedur yang ada. Seringkali ditemukan kesepakatan antara pihak perusahaan dengan pekerja yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur terkait dengan upah seperti contohnya yaitu ditemukannya kesepakatan upah yang rendah. Padahal dari pihak perusahaan/pabrik tidak diperbolehkan untuk membayar upah di bawah upah minimum. 

Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP SPSI) Provinsi Jawa Barat seperti ini terjadi di Jawa Barat. Menurutnya, sebenarnya terdapat mekanisme yang sudah diatur oleh Undang-Undang bahwa perusahaan tidak diperbolehkan untuk membayar upah kepada para pekerja lebih rendah dari ketentuan yang berlaku yakni Surat Keputusan Gubernur tentang upah minimum kota/kabupaten di Jawa Barat. Pada saat ini terdapat beberapa pengusaha yang memberi ajuan untuk membayar upah di bawah aturan. Oleh karena hal inilah, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP SPSI) Provinsi Jawa Barat yang mewakili para pekerja/buruh, meminta kepada pemerintah agar pengawas ketenagakerjaan melakukan tugasnya dengan baik. 

Kemudian selanjutnya, beliau menyampaikan bahwa merupakan tanggungjawab pemerintah untuk mengontrol hal-hal atau pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan. Pada realitanya, saat ini belum dilakukan secara maksimal karena terdapat beberapa perusahaan yang secara masif meminta hal itu. Negara kita merupakan negara hukum, maka aturan yang telah ditetapkan haruslah dilakukan.

Selanjutnya beliau juga menyampaikan harapannya jika terjadi suatu pelanggaran. Beliau berharap bahwa dinas ketenagakerjaan Jawa Barat lebih khususnya adalah pengawas untuk melakukan tugas-tugasnya. Untuk mengontrol sebagai tanggungjawab pemerintah memastikan bahwa upah atau keputusan pemerintah dapat berjalan dengan baik di lapangan. Menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi rakyat.

Banyaknya polemik mengenai kesejahteraan buruh, melatarbelakangi kesadaran akan harapan-harapan bagi seluruh buruh di Indonesia untuk dapat mencapai kesejahteraan kini hingga nanti. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP SPSI) Provinsi Jawa Barat menyampaikan harapannya untuk kesejahteraan buruh di masa sekarang dan di masa yang akan datang, melihat dari kebijakan-kebijakan yang saat ini telah berlaku.  

Berikut harapan yang beliau sampaikan : seluruh rakyat Indonesia tentu ingin ada penghidupan yang layak di negerinya sendiri, harapan kita kedepannya upah dibantu oleh negara untuk bagaimana rakyat menjadi sejahtera. Kita ingin seluruh rakyat Indonesia, termasuk buruh di dalamnya benar-benar mendapatkan kesejahteraan sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang. 

Pendidikan, kesehatan merupakan tanggungjawab negara untuk menyediakan fasilitas. Namun saat ini pendidikan dan kesehatan masih sangat tinggi, maka jika tidak diimbangi dengan upah yang layak tentu akan semakin sulit. Kita berharap peran negara dapat memperhatikan rakyat khususnya upah buruh Indonesia khususnya Jawa Barat.

Konflik perjuangan kelas buruh terjadi karena adanya benturan antara kelas buruh dengan kelas kapitalis atau para pemilik modal dalam memperjuangkan dan mencapai hak-hak yang patut diperjuangkan demi kesejahteraan mereka. Konflik perjuangan kelas ini sering terjadi, khususnya di Indonesia, karena kelas buruh merasa tidak dihargai dan tidak mendapatkan hak yang sesuai atas pekerjaan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, kelas buruh sering melakukan demonstrasi dan aksi-aksi protes untuk mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan, seperti hak atas upah yang layak, jam kerja yang adil, serta kondisi kerja yang aman dan nyaman. 

Konflik perjuangan kelas buruh pada intinya merupakan salah satu bentuk perjuangan kelas buruh untuk mencapai kesejahteraan dan hak-hak yang sama dengan kelas kapitalis. Tidak jarang kita temui, khususnya di Provinsi Jawa Barat, seruan-seruan buruh yang mengeluhkan dan menyatakan bahwa pada kenyataannya jumlah upah yang diterima oleh pekerja baru yang bekerja dalam kurun waktu di bawah satu tahun sama besarnya dengan buruh yang sudah bekerja dalam kurun waktu puluhan tahun dan mereka mendapatkan nominal upah yang sama. 

Hal tersebut menjadi alasan penguat atas kelayakan upah kalangan buruh yang sudah sepatutnya diperjuangkan dan karena realita-realita yang terjadi di lapangan dan yang telah dirasakan langsung oleh para buruh nyatanya ialah semuanya itu tidak sejalan dan tidak sesuai dengan ketetapan awal yang telah ditentukan sebelum mereka bekerja. Bukan hanya berasal dari internal pihak kapitalis, tetapi juga permasalahan kesejahteraan buruh turut berasal dari pasal-pasal yang telah ditetapkan yang turut menimbulkan rasa ketidakadilan sekaligus kontroversi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, utamanya kalangan buruh. 

Di mana pemerintah mengeluarkan regulasi berbentuk undang-undang yang cenderung menampilkan subjektivitas yang tinggi. Dalam implementasi UU Ciptaker, kalangan buruh menjadi salah satu pihak yang terdampak dan tidak dapat dipisahkan dari pasal-pasal di dalamnya. Setiap poin dalam undang-undang tersebut sangat berpotensi pada penurunan tingkat kesejahteraan para buruh di seluruh Indonesia, baik dari segi upah, beban kerja, maupun kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. 

Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang timbulnya kesadaran atas jutaan harapan bagi seluruh buruh di Indonesia untuk dapat mencapai kesejahteraan mereka yang hakiki.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP SPSI) Provinsi Jawa Barat dalam wawancara penulis turut menyampaikan harapan bagi kesejahteraan buruh saat ini, bahkan di masa yang akan datang agar pemerintah dapat lebih memperhatikan kesejahteraan para buruh atas upah minimum mereka dan berharap agar pemerintah kemudian dapat melihat dan mempertimbangkan berdasar pada kebijakan-kebijakan yang saat ini telah berlaku. 

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejatinya dengan adanya penetapan upah minimum buruh, khususnya di Jawa Barat, terbukti memberikan pengaruh yang idealnya signifikan terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun