Pada masa-masa sekarang ini, banyak perusahaan melakukan perekrutan pekerja kontrak dengan upah yang semakin murah dan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan oleh para buruh dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, setiap tahunnya para buruh berusaha agar harapan mereka dapat didengar pemerintah sebagai pengambil kebijakan ataupun para pengusaha dengan rutin mengadakan aksi buruh nasional yang jatuh dan diperingati pada hari buruh internasional bertepatan pada tanggal 1 November.
Polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang digaungkan sejak tahun 2020 tidak kunjung usai. Pada mulanya, pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja diasumsikan sebagai upaya untuk membenahi dan mengatur ulang regulasi dalam suatu undang-undang, termasuk upaya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya secara merata untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, termasuk kalangan buruh, membuat undang-undang tersebut cenderung menampilkan subjektivitas yang tinggi.Â
Berbicara mengenai implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, kalangan buruh menjadi salah satu fokus yang tidak dapat dipisahkan. Substansi dalam undang-undang tersebut sangat berpotensi menurunkan kesejahteraan setiap buruh di seluruh Indonesia, baik dari segi upah, beban kerja, maupun kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak. Munculnya aksi unjuk rasa oleh kalangan buruh di Indonesia merupakan implikasi nyata, Undang-Undang Cipta Kerja dinilai telah menghapus beberapa aturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai sangat merugikan.
Alih-alih mewujudkan kesejahteraan buruh, beberapa pasal yang menyangkut orientasi buruh berpotensi melanggar hak asasi manusia dalam hak bekerja (Sitio dan Suhesti, 2021:47). Pasal-pasal yang melekat dengan polemik kesejahteraan buruh juga membahas mengenai lemahnya perlindungan hak-hak buruh. Dalam hal ini, Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi mempertimbangkan inflasi saat menetapkan upah minimum. Selain itu, penghapusan Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK).Â
Artinya, penyamarataan upah minimum di seluruh kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan regional dalam persoalan biaya hidup tidak mampu menuntaskan polemik kesejahteraan buruh. Akibatnya, banyak pekerja yang tidak mampu memenuhi biaya hidup sehari-hari untuk mencapai taraf hidup yang layak.Â
Regulasi yang bias berpotensi menimbulkan perlakuan tidak adil antar pihak yang berkaitan, catatan ini merupakan sebuah  kemunduran dari undang-undang baik dari segi substansi maupun pragmatis. Perbedaan persepsi dan kurangnya sosialisasi antara pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat menyebabkan miskonsepsi dari berbagai pihak dalam memahami Undang-Undang Cipta Kerja yang belum mampu memberikan jaminan kepastian hukum terkait taraf hidup dan penetapan upah buruh yang layak bagi setiap stakeholder yang bersangkutan (Sjaiful, 2021).
Upah merupakan hal pokok yang telah diatur dalam undang-undang. Pemenuhan kebutuhan pekerja melalui penetapan upah minimum yang layak menjadi tanggung jawab negara karena. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menyatakan bahwa, dengan adanya penetapan Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembahasan upah dinilai sangat merugikan, hal ini dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, dimana menjadikan upah buruh pekerja di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat tidak mengalami kenaikan.Â
Pada tahun 2021, terdapat sekitar 11 kota/kabupaten mengalami kenaikan upah hanya sebesar 2,28%, jadi sangat sulit sekali bagi para buruh pekerja mendapatkan taraf hidup yang layak. Harga bahan pokok yang terus melambung diiringi dengan inflasi dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sepanjang tahun 2022, taraf kenaikan inflasi yang tidak kurang dari 5,7% masih tidak sebanding dengan upah buruh pekerja. Inflasi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan gejolak kenaikan harga-harga secara berkelanjutan.
Kecenderungan kenaikan harga-harga tersebut juga berdampak terhadap pertumbuhan laju ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Tsalsalaila et al, 2022). Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai keadaan meningkatnya pendapatan karena produksi barang dan jasa secara terukur dalam jangka waktu tertentu. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Di Provinsi Jawa Barat, tingkat inflasi dari tahun ke tahun menunjukkan eskalasi yang signifikan, implikasi kenaikan inflasi tersebut berdampak dalam skala nasional, salah satunya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Hal ini tentu mempengaruhi penetapan upah minimum buruh sebagai bagian dari masyarakat umum, termasuk kekhawatiran penetapan undang-undang yang tumpang tindih dan berkedok mencapai kesejahteraan. Problematika itulah yang menyebabkan kalangan buruh terus menggaungkan aksi unjuk rasa sejak tahun 2020 hingga 2022, dengan output yang diharapkan pemerintah dapat mencabut ketidakadilan yang menyangkut tenaga kerja.Â
Lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang disahkan yaitu Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Buruh tahun 2023, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, baik dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat yang melahirkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat mengenai kenaikan upah minimum yang berkisar 7--7,88%.Â