Kekerasan seksual adalah kasus yang banyak muncul di media akhir-akhir ini. Pada setiap tahunnya, jumlah kasus kekerasan seksual ini meningkat. Kekerasan seksual merupakan segala kegiatan yang mengacu kepada bentuk seksualitas dengan memaksa, melukai, menghina, dan merendahkan korban.Â
Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Kasus-kasus kekerasan seksual yang marak akhir-akhir ini ialah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Salah satu kasus tersebut datang dari salah satu kampus yang berada di Jakarta, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kasus tersebut dialami oleh salah satu mahasiswi anggota dari salah satu UKM yang ada di UIN Jakarta.
Kasus tersebut terjadi pada pagi hari tepatnya di kediaman (kamar kos) korban. Pelaku kekerasan seksual dalam kasus ini tidak lain dan tidak bukan ialah orang yang dikenal korban, yaitu kakak tingkat pada UKM tersebut. Korban bercerita bahwa UKM tersebut menyewa kamar kos sebagai ruang sekretariat, yang mana kamar kos tersebut bersebelahan dengan kamar korban.Â
Dalam kejadian tersebut, pelaku melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Perbuatan tersebut dimulai dari pelaku yang memasuki kamar korban tanpa izin, dilanjutkan dengan memeluk dan membalikkan tubuh korban secara paksa. Tidak sampai situ, pelaku juga mencium paksa hingga mengarahkan tangan korban untuk menyentuh alat kelaminnya.
Adanya Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa dalam Kasus
Adanya streotype di lingkungan masyarakat pada gender tertentu, khususnya perempuan melahirkan sebuah ketimpangan gender. Streotype tersebut membuat perempuan sulit untuk bergerak dan mengeluarkan opini. Perempuan seakan menjadi makhluk yang memang tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun.Â
Tidak hanya di lingkungan masyarakat, tanpa disari dalam lingkungan kampus juga terdapat streotype tersebut. Di lingkungan kampus, khususnya di Indonesia, masih kental dengan budaya maskulinitas dan kuasa kampus. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya korban kekerasan seksual yang berjenis kelamin perempuan.Â
Sama halnya dengan kasus ini yang mana korban merupakan seorang perempuan. Pasca kejadian, korban mencoba bercerita kepada teman dan kakak tingkat UKMnya atas apa yang telah terjadi. Namun mirisnya, apa yang diceritakan oleh korban dianggap sebagai sesuatu yang sepele.
 Tidak hanya itu, bahkan korban disalahkan atas kejadian yang telah menimpanya. Korban disalahkan dengan alasan korban lupa menutup pintu. Padahal jika memang pelaku memiliki kesadaran, seharusnya pelaku mampu menahan hasrat dan gejolak seksualnya.Â
Kemudian adanya relasi kuasa, yang mana pelaku merupakan seorang yang memiliki kedudukan penting dalam kasus tersebut turut membuat korban semakin terpojokkan. Apalagi korban hanyalah anggota biasa yang masih berstatus sebagai junior dalam UKM tersebut. Hal tersebut semakin membuat proses kasus yang dilaporkan oleh korban mengalami keterhambatan.
Keterhambatan tersebut dimulai ketika korban mengajukan pengunduran diri di UKMnya. Korban selalu ditahan dengan berbagai alasan hingga pihak UKM berjanji tidak akan mempertemukan korban dengan pelaku pada program kerja yang akan dilaksanakan. Namun pada kenyataannya, pelaku tetap aktif pada kegiatan UKM tersebut.
Masih belum merasa lelah, korban  memberikan usul untuk mengadakan Musyawarah Luar Biasa (Muslub) dalam menindaklajuti kasusnya. Usulan korban diterima dan korban diminta untuk menunggu hasil. Naasnya, ketika hasil keluar, yang mana dalam hasil tersebut pelaku dinonaktifkan masa kerjanya selama setahun ditentang habis oleh para pendukung pelaku hingga mereka mengajukan banding terkait hal tersebut.