Mohon tunggu...
Anindya AditaPutri
Anindya AditaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

hai, selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Salah Satu UKM di UIN Jakarta

17 Desember 2022   15:57 Diperbarui: 17 Desember 2022   16:02 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual adalah kasus yang banyak muncul di media akhir-akhir ini. Pada setiap tahunnya, jumlah kasus kekerasan seksual ini meningkat. Kekerasan seksual merupakan segala kegiatan yang mengacu kepada bentuk seksualitas dengan memaksa, melukai, menghina, dan merendahkan korban. 

Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Kasus-kasus kekerasan seksual yang marak akhir-akhir ini ialah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Salah satu kasus tersebut datang dari salah satu kampus yang berada di Jakarta, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kasus tersebut dialami oleh salah satu mahasiswi anggota dari salah satu UKM yang ada di UIN Jakarta.

Kasus tersebut terjadi pada pagi hari tepatnya di kediaman (kamar kos) korban. Pelaku kekerasan seksual dalam kasus ini tidak lain dan tidak bukan ialah orang yang dikenal korban, yaitu kakak tingkat pada UKM tersebut. Korban bercerita bahwa UKM tersebut menyewa kamar kos sebagai ruang sekretariat, yang mana kamar kos tersebut bersebelahan dengan kamar korban. 

Dalam kejadian tersebut, pelaku melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Perbuatan tersebut dimulai dari pelaku yang memasuki kamar korban tanpa izin, dilanjutkan dengan memeluk dan membalikkan tubuh korban secara paksa. Tidak sampai situ, pelaku juga mencium paksa hingga mengarahkan tangan korban untuk menyentuh alat kelaminnya.

Adanya Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa dalam Kasus

Adanya streotype di lingkungan masyarakat pada gender tertentu, khususnya perempuan melahirkan sebuah ketimpangan gender. Streotype tersebut membuat perempuan sulit untuk bergerak dan mengeluarkan opini. Perempuan seakan menjadi makhluk yang memang tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. 

Tidak hanya di lingkungan masyarakat, tanpa disari dalam lingkungan kampus juga terdapat streotype tersebut. Di lingkungan kampus, khususnya di Indonesia, masih kental dengan budaya maskulinitas dan kuasa kampus. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya korban kekerasan seksual yang berjenis kelamin perempuan. 

Sama halnya dengan kasus ini yang mana korban merupakan seorang perempuan. Pasca kejadian, korban mencoba bercerita kepada teman dan kakak tingkat UKMnya atas apa yang telah terjadi. Namun mirisnya, apa yang diceritakan oleh korban dianggap sebagai sesuatu yang sepele.

 Tidak hanya itu, bahkan korban disalahkan atas kejadian yang telah menimpanya. Korban disalahkan dengan alasan korban lupa menutup pintu. Padahal jika memang pelaku memiliki kesadaran, seharusnya pelaku mampu menahan hasrat dan gejolak seksualnya. 

Kemudian adanya relasi kuasa, yang mana pelaku merupakan seorang yang memiliki kedudukan penting dalam kasus tersebut turut membuat korban semakin terpojokkan. Apalagi korban hanyalah anggota biasa yang masih berstatus sebagai junior dalam UKM tersebut. Hal tersebut semakin membuat proses kasus yang dilaporkan oleh korban mengalami keterhambatan.

Keterhambatan tersebut dimulai ketika korban mengajukan pengunduran diri di UKMnya. Korban selalu ditahan dengan berbagai alasan hingga pihak UKM berjanji tidak akan mempertemukan korban dengan pelaku pada program kerja yang akan dilaksanakan. Namun pada kenyataannya, pelaku tetap aktif pada kegiatan UKM tersebut.

Masih belum merasa lelah, korban  memberikan usul untuk mengadakan Musyawarah Luar Biasa (Muslub) dalam menindaklajuti kasusnya. Usulan korban diterima dan korban diminta untuk menunggu hasil. Naasnya, ketika hasil keluar, yang mana dalam hasil tersebut pelaku dinonaktifkan masa kerjanya selama setahun ditentang habis oleh para pendukung pelaku hingga mereka mengajukan banding terkait hal tersebut.

Korban yang merasa lelah pun akhirnya mengadukan hal tersebut kepada Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan. Namun, data yang diterima oleh Kabag hanya data pengunduran diri korban. Kabag tersebut kaget ketika mengetahui bahwa yang sebenarnya terjadi bukan hanya sekedar korban ingin keluar UKM melainkan terdapat kasus kekerasan seksual di dalamnya. Bahkan, ketika di wawancarai oleh tim LPM Institut, Ketua Umum, Senior, hingga Alumni UKM tersebut enggan untuk memberikan komentar. 

Teori Kontruksi Sosial dalam Menganalisa Kasus Kekerasan Seksual

Dalam menganalisa kasus, saya selaku peneliti mencoba menganalisa melalui perspektif Sosiologi yaitu dengan memakai teori kontruksi sosial. Teori kontruksi sosial ini merupakan teori milik Berger dan Thomas Luckmann yang mengatakan bahwa realitas yang terjadi di dalam masyarakat merupakan hasil dari sebuah kontruksi sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. 

Adanya masyarakat yang mendominasi dalam sebuah lingkungan turut menciptakan sebuah realitas yang ada. Artinya, realitas dalam sebuah masyarakat bukan hanya berlandaskan fakta yang ada. Melainkan, realitas tersebut terbentuk dari kontruksi sosial dan terdapat campur tangan dari kelompok masyarakat yang memiliki sebuah relasi dan kekuasaan. 

Dalam kasus ini terdapat sebuah kontruksi budaya patriarki. Kontruksi tersebut melahirkan sebuah realitas yang di dalamnya tidak hanya mengandung fakta, melainkan turut ada campur tangan dari pihak yang memiliki relasi kekuasaan. Kontruksi yang tersebut  terbentuk karena adanya opini-opini yang bertransformasi menjadi sebuah realitas.

Dalam kasus tersebut terdapat relasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku serta ketidakberdayaan yang dimiliki oleh korban. Relasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku tersebut digunakan untuk melindungi diri si pelaku dengan membuat realitas bahwa korbanlah yang seharusnya disalahkan. Kemudian adanya kontruksi budaya, seperti apa yang dilakukan pelaku kepada korban merupakan hal yang biasa apalagi korban dan pelaku sama-sama tinggal di Ibukota Jakarta yang memang sudah tidak asing lagi dengan hal berbau seksual. 

Kontruksi budaya tersebut membuat pelaku dan para pendukungnya menganggap bahwa apa yang dilakukannya merupakan hal yang biasa yang mungkin memang sering dilakukannya. Kemudian, kontruksi budaya tersebut terus berlaku karena adanya penyebaran opini seperti yang dilakukan oleh para anggota UKM tresebut yang menekan dan menyalahkan korban.

Opini tersebut merupakan sebuah sarana atau media dalam membangun kontruksi yang melahirkan sebuah realitas. Opini senior yang menyalahkan korban mampu mendominasi pandangan anggota lain sehingga opini tersebut bertransformasi menjadi sebuah realitas bahwa pada kasus ini pihak UKM lebih menekankan untuk menyalahkan korban dibanding menyalahkan pelaku.

Dengan adanya relasi kuasa, ketimpangan gender, hingga kontruksi budaya yang berlaku membuat korban semakin kesulitan dalam meminta tindak lanjut akan kasusnya.  Sekeras apapun korban meminta keadilan dan menuntut penuntasan kasus yang dialaminya kepada para pengurus UKM tidaklah berarti. Justru, korban yang akan mendapatkan tekanan yang lebih dalam serta semakin disalahkan akan kejadian yang telah menimpanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun