Korban yang merasa lelah pun akhirnya mengadukan hal tersebut kepada Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan. Namun, data yang diterima oleh Kabag hanya data pengunduran diri korban. Kabag tersebut kaget ketika mengetahui bahwa yang sebenarnya terjadi bukan hanya sekedar korban ingin keluar UKM melainkan terdapat kasus kekerasan seksual di dalamnya. Bahkan, ketika di wawancarai oleh tim LPM Institut, Ketua Umum, Senior, hingga Alumni UKM tersebut enggan untuk memberikan komentar.Â
Teori Kontruksi Sosial dalam Menganalisa Kasus Kekerasan Seksual
Dalam menganalisa kasus, saya selaku peneliti mencoba menganalisa melalui perspektif Sosiologi yaitu dengan memakai teori kontruksi sosial. Teori kontruksi sosial ini merupakan teori milik Berger dan Thomas Luckmann yang mengatakan bahwa realitas yang terjadi di dalam masyarakat merupakan hasil dari sebuah kontruksi sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.Â
Adanya masyarakat yang mendominasi dalam sebuah lingkungan turut menciptakan sebuah realitas yang ada. Artinya, realitas dalam sebuah masyarakat bukan hanya berlandaskan fakta yang ada. Melainkan, realitas tersebut terbentuk dari kontruksi sosial dan terdapat campur tangan dari kelompok masyarakat yang memiliki sebuah relasi dan kekuasaan.Â
Dalam kasus ini terdapat sebuah kontruksi budaya patriarki. Kontruksi tersebut melahirkan sebuah realitas yang di dalamnya tidak hanya mengandung fakta, melainkan turut ada campur tangan dari pihak yang memiliki relasi kekuasaan. Kontruksi yang tersebut  terbentuk karena adanya opini-opini yang bertransformasi menjadi sebuah realitas.
Dalam kasus tersebut terdapat relasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku serta ketidakberdayaan yang dimiliki oleh korban. Relasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku tersebut digunakan untuk melindungi diri si pelaku dengan membuat realitas bahwa korbanlah yang seharusnya disalahkan. Kemudian adanya kontruksi budaya, seperti apa yang dilakukan pelaku kepada korban merupakan hal yang biasa apalagi korban dan pelaku sama-sama tinggal di Ibukota Jakarta yang memang sudah tidak asing lagi dengan hal berbau seksual.Â
Kontruksi budaya tersebut membuat pelaku dan para pendukungnya menganggap bahwa apa yang dilakukannya merupakan hal yang biasa yang mungkin memang sering dilakukannya. Kemudian, kontruksi budaya tersebut terus berlaku karena adanya penyebaran opini seperti yang dilakukan oleh para anggota UKM tresebut yang menekan dan menyalahkan korban.
Opini tersebut merupakan sebuah sarana atau media dalam membangun kontruksi yang melahirkan sebuah realitas. Opini senior yang menyalahkan korban mampu mendominasi pandangan anggota lain sehingga opini tersebut bertransformasi menjadi sebuah realitas bahwa pada kasus ini pihak UKM lebih menekankan untuk menyalahkan korban dibanding menyalahkan pelaku.
Dengan adanya relasi kuasa, ketimpangan gender, hingga kontruksi budaya yang berlaku membuat korban semakin kesulitan dalam meminta tindak lanjut akan kasusnya. Â Sekeras apapun korban meminta keadilan dan menuntut penuntasan kasus yang dialaminya kepada para pengurus UKM tidaklah berarti. Justru, korban yang akan mendapatkan tekanan yang lebih dalam serta semakin disalahkan akan kejadian yang telah menimpanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H