Perubahan iklim telah menjadi isu global yang mendesak dan semakin memprihatinkan. Dampaknya terasa di seluruh dunia, dari kenaikan suhu global hingga bencana alam yang semakin sering terjadi.Â
Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca, dengan karbon dioksida (CO2) sebagai salah satu komponen utamanya. Untuk mengatasi masalah ini, komunitas internasional telah menyepakati berbagai target untuk mengurangi emisi karbon, termasuk dalam Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris, yang disepakati pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2015, menetapkan target global untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global menjadi di bawah 2 derajat Celsius di atas level pra-industri, dengan upaya maksimal untuk tidak melebihi 1,5 derajat Celsius. Untuk mencapai target ini, pengurangan emisi karbon menjadi kunci utama.
Menurut laporan tahunan Carbon Emissions Gap Report 2019 dari UNEP, upaya untuk mencapai target Perjanjian Paris memerlukan pengurangan emisi karbon global sebesar 7,6% setiap tahun dari 2020 hingga 2030. Salah satu langkah yang diambil oleh berbagai negara adalah menerapkan kebijakan pajak karbon.Â
Pajak karbon dikenakan pada bahan bakar fosil dan industri-industri yang menghasilkan emisi karbon. Tujuannya adalah untuk memberikan insentif kepada perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi karbon dengan cara mengurangi konsumsi bahan bakar fosil atau beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
Namun, meskipun pajak karbon dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim, kebijakan ini juga menuai kontroversi. Beberapa kritikus mengatakan bahwa pajak karbon dapat memberatkan ekonomi dan masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat yang lebih rentan secara ekonomi. Selain itu, efektivitas pajak karbon dalam mengurangi emisi karbon juga masih menjadi perdebatan.
Finlandia menjadi salah satu pelopor dalam penerapan pajak karbon sejak 1990 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Negara-negara seperti Denmark, Swedia, dan Belanda juga menerapkan pajak karbon dengan hasil penurunan emisi yang cukup baik.Â
Namun, Australia mengalami tantangan dalam menerapkan kebijakan serupa pada tahun 2011, yang akhirnya dicabut pada tahun 2014 karena protes dari oposisi dan masyarakat terkait kenaikan harga energi. Namun, sekarang Australia memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBMA) atau pajak karbon demi meraih target net zero emission pada 2050.
Tantangan dan Kritik terhadap Pajak Karbon
Pajak karbon, meskipun dianggap sebagai salah satu instrumen kebijakan yang efektif dalam mengurangi emisi karbon, juga menghadapi berbagai tantangan dan kritik:
1. Dampak Ekonomi: Salah satu kritik utama terhadap pajak karbon adalah dampaknya terhadap perekonomian, terutama bagi industri-industri yang bergantung pada bahan bakar fosil. Pajak karbon dapat meningkatkan biaya produksi, yang kemudian dapat mengakibatkan penurunan daya saing dan penurunan pertumbuhan ekonomi.