Mohon tunggu...
Anindya PuspaTanjungsari
Anindya PuspaTanjungsari Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Seorang pengajar yang sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Kritis Peran Kurikulum Merdeka dalam Memajukan Literasi dan Numerasi di Indonesia

28 Desember 2024   17:20 Diperbarui: 28 Desember 2024   17:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Analisis Kritis Peran Kurikulum Merdeka dalam Memajukan Literasi dan Numerasi di Indonesia

Kurikulum Merdeka, sebagai bagian dari reformasi pendidikan nasional, menempatkan literasi dan numerasi sebagai prioritas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, meskipun visi dan pendekatannya terkesan progresif, implementasinya membutuhkan analisis kritis atas beberapa dimensi: landasan konseptual, efektivitas pedagogis, kesiapan implementasi, dan tantangan sistemik yang ada.

                Kurikulum Merdeka menempatkan literasi dan numerasi sebagai keterampilan esensial, tidak hanya sebagai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, analitis, dan problem-solving. Pendekatan ini sejalan dengan standar internasional, seperti PISA. Namun, secara konseptual, terdapat risiko interpretasi yang terlalu generik tanpa pendefinisian indikator capaian yang terukur secara kontekstual untuk Indonesia. Hal ini dapat memengaruhi fokus dalam implementasi, terutama di wilayah dengan kesenjangan kualitas pendidikan yang signifikan.

Literasi dan numerasi sering kali dipengaruhi oleh dimensi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Pendekatan generik yang tidak memperhatikan variabel ini dapat menghambat efektivitas program. Sebagai contoh, di daerah terpencil, prioritas pembelajaran literasi mungkin lebih relevan jika dikaitkan dengan pengembangan keterampilan hidup berbasis lokal, sedangkan di perkotaan, pendekatan berbasis teknologi dapat lebih relevan.

Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas dalam metode pembelajaran melalui pendekatan berbasis proyek, pembelajaran berbasis masalah, dan asesmen formatif. Pendekatan ini secara teoritis dapat memperkuat literasi dan numerasi, karena siswa belajar melalui eksplorasi kontekstual dan pemecahan masalah. Namun, fleksibilitas ini memiliki potensi menciptakan kesenjangan baru antara guru yang kompeten dan guru yang belum mampu memanfaatkan otonomi tersebut secara optimal.

Tidak semua guru memiliki kapasitas pedagogis yang memadai untuk menerapkan pendekatan ini secara efektif. Sebuah studi oleh Kemendikbudristek menunjukkan bahwa mayoritas guru di Indonesia masih mengandalkan metode pembelajaran konvensional yang berfokus pada pengajaran langsung. Tanpa pelatihan dan dukungan intensif, fleksibilitas ini dapat menghasilkan implementasi yang tidak seragam, sehingga hasil literasi dan numerasi menjadi inkonsisten di berbagai daerah.

Salah satu tantangan utama dalam Kurikulum Merdeka adalah kesiapan sistem pendidikan untuk mendukung implementasinya. Indonesia memiliki disparitas besar dalam akses pendidikan, baik dari segi kualitas guru, fasilitas, maupun teknologi. Di daerah terpencil, kekurangan guru yang kompeten, akses internet, dan materi ajar berbasis teknologi menjadi hambatan serius.

Kebijakan ini juga mengasumsikan bahwa seluruh guru mampu menjalankan peran sebagai fasilitator pembelajaran. Padahal, data menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih menghadapi kesulitan dalam melakukan asesmen formatif dan diferensiasi pembelajaran. Ketidaksiapan ini dapat memperlambat pencapaian literasi dan numerasi, terutama di sekolah yang memiliki sumber daya terbatas.

Sistem asesmen dalam Kurikulum Merdeka berorientasi pada formatif dan diagnostik, yang bertujuan untuk mendukung pembelajaran berkelanjutan. Secara teori, asesmen ini mampu memetakan perkembangan literasi dan numerasi siswa secara lebih akurat dibandingkan asesmen sumatif. Namun, dalam praktiknya, banyak guru yang masih berorientasi pada pencapaian nilai, sehingga penerapan asesmen formatif belum sepenuhnya efektif.

Selain itu, sistem asesmen ini membutuhkan infrastruktur digital yang andal, terutama dalam hal pelaporan dan analisis data. Sayangnya, keterbatasan teknologi dan literasi digital di banyak sekolah menjadi kendala serius yang harus diatasi. Tanpa dukungan teknologi, sistem asesmen Kurikulum Merdeka berisiko hanya menjadi konsep ideal yang sulit diimplementasikan.

Fleksibilitas dalam Kurikulum Merdeka memungkinkan sekolah untuk menentukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Namun, dalam kondisi di mana sekolah memiliki sumber daya yang sangat terbatas, fleksibilitas ini dapat memperburuk kesenjangan. Sekolah dengan guru yang terlatih, akses teknologi, dan dukungan manajemen yang kuat cenderung lebih berhasil memanfaatkan pendekatan ini, sementara sekolah yang kekurangan sumber daya akan tertinggal lebih jauh.

Literasi dan numerasi, yang merupakan kompetensi dasar, harus diprioritaskan dalam konteks pemerataan. Namun, Kurikulum Merdeka tampaknya belum memiliki strategi spesifik untuk menjembatani kesenjangan ini. Hal ini mencerminkan perlunya kebijakan afirmatif untuk mendukung sekolah-sekolah dengan keterbatasan sumber daya.

Implementasi Kurikulum Merdeka membutuhkan komitmen lintas sektor yang kuat, termasuk dukungan dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan tinggi, serta komunitas lokal. Sayangnya, keberhasilan kebijakan ini sering kali terhambat oleh ketidakkonsistenan pada tingkat kebijakan, kurangnya pelatihan berkelanjutan, dan minimnya sinergi antara pusat dan daerah.

Selain itu, literasi dan numerasi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai tanggung jawab sekolah, tetapi juga sebagai isu sosial yang memerlukan keterlibatan orang tua dan komunitas. Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya memetakan strategi untuk memberdayakan peran komunitas dalam mendukung pencapaian literasi dan numerasi.

Secara konseptual, Kurikulum Merdeka memiliki potensi besar untuk memajukan literasi dan numerasi di Indonesia. Namun, efektivitasnya tergantung pada sejauh mana implementasinya dapat mengatasi hambatan struktural, pedagogis, dan sistemik yang ada. Kebijakan ini memerlukan:

  1. Peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan berkelanjutan yang relevan dengan pendekatan kurikulum.
  2. Investasi infrastruktur pendidikan, terutama untuk daerah tertinggal.
  3. Penguatan kebijakan afirmatif untuk memastikan pemerataan literasi dan numerasi di seluruh wilayah Indonesia.
  4. Integrasi teknologi yang mendukung pembelajaran dan asesmen literasi serta numerasi.
  5. Keterlibatan komunitas untuk membangun budaya literasi dan numerasi di luar lingkungan sekolah.

Kurikulum Merdeka harus dilihat sebagai langkah awal yang memerlukan penguatan strategi dan komitmen kolektif untuk menjadikannya lebih dari sekadar wacana progresif, tetapi sebagai alat transformasi pendidikan Indonesia yang substantif.

Anindya Puspa Tanjungsari, Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun