Alunan senandung dari para penyanyi jebolan ajang pencarian bakat di televisi menemani langkahku mengelilingi area perumahan di sore hari ini. Senyum sapa terlempar saat beberapa tetangga menyapaku. Hari ini komplek perumahan terasa ramai. Hiruk pikuk dari arah masjid ramai terdengar. Menurut salah seorang ibu-ibu yang menyapaku tadi di masjid ada ustadz terkenal mengisi kajian minggu sore ini.
Kuarahkan langlah kakiku keluar dari komplek perumahan. Terbersit niat untuk mendatangi lapak es cincau favoritku. Sambil terus ikut bersenandung, mengikuti alunan musik dari handphoneku.
Akhirnya aku sampai di lapak es cinca. Kupesan 1 gelas besar. Bapak penjual ea cincau menawarkan dua harga terhadap pembeli, ada yang tigaribu dan ada yang limaribu segelasnya. Tidak sampai 10 menit, gelasku kosong. Kunikmati manisnya gula merah dan hambarnya cincau hijau, bersatu padu dalam mulutku.
Selesai menikmati segelas ea cincau, aku duduk menikmati pemandangan di sekitar. Lapak ini bersebrangan dengan sebuah taman bermain. Ada ibu hamil dan seorang anak kecil menarik mataku. Kutatap mereka berdua. Dari kejauhan sepertinya anak kecil itu merengek meminta sesuatu yang tidak diberian oleh ibunya.
Kuhela nafas panjang, pemandangan itu langsung menarik ingatanku tentang ibu. Entah ada dimana ibu sekarang.
Tahun 1998 saat terjadi krisis moneter, ibu hiilang dalam perjalanan pulang dari kantornya. Kami di rumah berpikir bahwa ibu terjebak kerusuhan, sehingga tidak dapat pulang. Bapam bilang mungkin besaok pagi ibu baru bisa pulang.
Hari berganti, minggu berlalu dan puluhan purnama ibu tak pernah kembali ke rumah. Sampai sekarang, kami tidak pernah tau keberadaan ibu. Tanpa disadari, pelupuk mataku basah. Aku selalu berharap suatu hari nanti ibu akan pulang, kembali ke rumah
Aku rindu ibu ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H