Mohon tunggu...
Aninditha Nur Shafira
Aninditha Nur Shafira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

penulis tanpa harus menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyikapi Partisipasi Masyarakat terhadap Pemilu di Era digital

6 Juli 2022   16:35 Diperbarui: 6 Juli 2022   16:38 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pixabay.com/

Kehidupan sosial pada umumnya merupakan esensi dari manusia, adanya hubungan timbal balik membuat manusia cenderung akan memiliki sikap saling ketergantungan satu sama lain, sikap saling ketergantungan adalah sikap saling membutuhkan antarmanusia, dan saling ketergantungan dapat membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setiap orang berhak diberikan kebebasan atas haknya dalam menentukan pilihan yang terbaik untuk dipilih, hal tersebut bukan tanpa alasan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi terbesar di dunia. Menurut Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Nallom Kurniawan, sebagaimana dikutip dari laman Detik.com Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, dan tidak menampik bila negara demokrasi terbesar adalah Amerika Serikat (AS), dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya setiap masyarakat Indonesia ikut pula dalam menentukan kehidupan negara berdasarkan prinsip demokrasi, sebagaimana terlihat pada keterlibatan masyarakat dalam kehidupan politik.

Ketika membahas perihal politik mungkin mayoritas masyarakat akan berpikir mengenai politik dengan sesuatu yang buruk, menakutkan, bahkan penuh dengan intrik jahat. Persepsi demikian rupanya masih saja membuat banyak masyarakat salah kaprah terkait makna politik. Jika ditinjau menurut etimologi, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota (city state), didefinisikan sebagai suatu wadah dalam berinteraksi dan berkembang guna mencapai tujuan bersama.

Politik merupakan upaya untuk mengatur dan mengurusi semua urusan umat yang menyangkut kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbekal pendidikan yang mumpuni, seseorang menjadi sadar akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga di suatu negara. Kendati demikian, masyarakat kerap kali merasa kurang puas terhadap kesempatan yang diberikan ketika ingin memperjuangkan dan mempertahankan haknya secara demokratis.

Bermula dari problematika demokrasi di Indonesia, terlihat bahwa esensi politik Indonesia belum mengarah pada penguatan demokrasi itu sendiri, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, dan peluang oligarchy reinforcement. Perihal demikian, masyarakat masih terus optimis terhadap demokrasi Indonesia dan dapat bertahan dari merebaknya otoritarianisme.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan bukti nyata dari kehidupan berdemokrasi, dan tidak hanya pada aspek pembangunan, usaha dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat ada bermacam-macam, seperti halnya masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih dan memberikan hak pilihnya terhadap calon kandidat dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam pasrtispasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan demokrasi, khusunya di Indonesia. Namun, hal tersebut justru berbalik terbalik dengan keinginan masyarakat yang terlalu menuntut hak, tetapi kerap kali mengabaikan apa yang sudah menjadi kewajiban sebagai warga di suatu negara.

Bentuk dan implementasi demokrasi di Indonesia misalnya pada setiap penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Fenomena jumlah golongan putih (Golput) selalu menjadi sorotan dan sering kali dipermasalahkan. Secara sederhana, golongan putih dapat dimaknai sebagai sebuah sikap pemilih untuk tidak memilih kandidat yang ada, sikap untuk tidak memilih bukan tanpa alasan yang tidak ada dasarnya, sebagaimana melansir dari situs Nasional.kompas.com ada tiga alasan mengapa seseorang tidak menggunakan hak pilihnya ketika pelaksanaan pemilu dihelat, pertama, adanya sikap apatis, kedua alasan teknis, dan ketiga karena alasan ideologis.

Sikap apatis yaitu suatu bentuk reaksi dari segelintir orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena menganggap hal tersebut tidak terlalu penting, sikap mereka yang cuek hingga enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) merupakan salah satu bentuk dari adanya respons terhadap proses berlangsungnya pemilu. Menurut Founder dan CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengungkapkan bahwa "pemilih yang bersikap apatis terkait proses pemilu rata-rata didominasi oleh pemilih dari kelompok usia muda," kurangnya bersosialisasi menjadi salah satu pemicunya. Sikap apatis merupakan cerminan dari sikap individualis yang diakibatkan adanya perubahan lingkungan dalam memengaruhi pola pikir masyarakat di era digital, seperti modernisasi dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat dirasa penting karena dalam perkembangan teknologi yang semakin canggih dan terbarukan dapat dengan mudah memengaruhi aktivitas masyarakat mulai dari moral, ekonomi, politik, dan sosial.

Beberapa alasan teknis yang membuat pemilih enggan menggunakan hak pilihnya karena mereka tidak mengetahui waktu pelaksanaan pencoblosan pada saat pemilu tersebut berlangsung, hingga terkendalanya terkait Kartu Identitas Penduduk elektronik (e-KTP). Seperti yang diketahui e-KTP merupakan salah satu syarat utama bagi WNI untuk bisa memilih pada pemilu di tahun 2019. Lalu alasan teknis lainnya yaitu nama dari beberapa orang tidak terdaftar dan terdata sebagai calon pemilih di pemilu dan bisa juga disebabkan karena kurangnya kertas suara saat pemilu tersebut di selenggarakan, kendala kelengkapan administrasi menjadi penghalang bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.

Ideologis menjadi alasan bagi masyarakat yang sebenarnya memiliki hak pilih dan sudah terdata sebagai calon pemilih, namun dengan sengaja menjadi golput karena merasa calon kandidat yang akan dipilih tidak sesuai dengan harapan, terlebih lagi masyarakat juga merasa para calon kandidat tidak ada yang memenuhi ekspetasi dan standar sebagai kualitas Presiden.

Mengutip dari kanal YouTube PinterPolitik TV (2019) memasuki era reformasi, angka golput semakin tinggi dan bisa dilihat pada Pemilu 1999 yang mencapai 10,4 persen, selanjutnya pada Pileg 2004 jumlah golput mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen, pada Pemilu 2009 golput Pileg mencapai 29,1 persen dan golput pada Pilpres 27,77 persen, di Pileg 2014 angka golput mencapai 24,89 persen dan saat Pilpres di tahun tersebut jumlahnya mencapai titik tertinggi dengan 30 persen.

Melansir dari laman Tempo.co pada Pemilu 2019 Lembaga Indikator Politik Indonesia memproyeksikan potensi golput setidaknya mencapai angka 20 persen, angka tersebut didapatkan dari jumlah orang yang telah memutuskan golput ditambah mereka yang belum menentukan pilihan atau undecided voters. Faktanya, tindakan golput sering kali dilakukan oleh kelompok anak muda dan aktivis yang menginginkan tradisi adanya jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalan situasi apapun.

Perihal terkait jumlah angka golongan putih kian merebak pasca era reformasi dari tahun 1999, PT. Immobi Solusi Prima meluncurkan sebuah aplikasi berbasis web bernama Ayonyoblos.id, guna menangkis dan meminimalisasikan sikap pemilih untuk tidak memilih atau golongan putih (Golput) jelang sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden. Menurut CEO PT Immobi Solusi Prima, Erick Sitorus, sebagaimana dikutip dari laman Antarnews.com mengungkapkan "Aplikasi berbasis web ayonyoblos.id diluncurkan sebagai wujud kepeduliaan PT Immobi Solusi Prima sebagai perusahaan telekomunikasi untuk membantu Indonesia melaksanakan Pipres dan Pileg yang lancar dan minim golput, juga mendorong para pemilih milenial untuk menggunakan hak suara mereka."

Pelaksanaan pemilu di Indonesia pasalnya tidak lepas dari berbagai kendala yang kerap mencuat ketika pemilu diselenggarakan, antara lain yaitu kampanye hitam (black champaign). Mengutip dari sumber Tribratanews.kepri.polri.go.id kampanye hitam merupakan sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang dengan mengeluarkan propaganda negatif dan dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Meskipun dalam politik hal tersebut lumrah terjadi, namun jika dilakukan secara tidak sehat bisa menyebabkan disintegrasi suatu bangsa, seperti menyebarkan berita bohong (hoax), fitnah, pemanfaatan isu SARA, dan lain sebagainya. Kampanye hitam (black campaign) dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia yang didasarkan pada kebohongan dan fitnah belaka yang tersebar secara daring (online), karena kemunculan hoax merupakan cerminan dari kegagalan jangka panjang lembaga-lembaga demokrasi sehingga hal tersebut bukan sesuatu yang mudah dan cepat diperbaiki, akibatnya akan berdampak kepada media informasi yang tidak dapat terkendali.

Setelah era digital menghuni dunia, teknologi digunakan sebagai salah satu media utama penyebaran informasi khususnya di kehidupan masyarakat modern, seperti adanya teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu masalah terkait keberadaannya terhadap pengaruh yang diberikan pada pemilu era digital di Indonesia.

 Pengalaman dari beberapa negara terkait pelaksanaan pemilu masih diwarnai oleh berbagai pelanggaran maupun kecurangan (electronical malpractice) seperti yang telah diketahui bahwasanya penyebaran informasi dan komunikasi di era digital kini semakin mendominasi kehidupan sosial masyarakat terutama dalam membentuk jati diri serta pola pikir masyarakat yang cenderung dinamis. Beberapa platform yang sering digunakan masyarakat sebagai sarana penyebaran informasi antara lain Facebook, Twitter, dan Instagram. Pada hakikatnya, sosialisasi politik yang baik perlu disampaikan secara jelas, ringkas, serta tegas sehingga yang tersampaikan dapat diterima oleh penerima informasi secara mudah.

Memang sulit suatu negara untuk melaksanakan kewajiban terkait penyelenggaran pendidikan politik yang sehat dan dapat berhasil menumbuhkan partisipasi politik masyarakat, tanpa mengorbankan stabilitas nasional. Pemilu sendiri merupakan sarana publik untuk menghukum pemerintah yang tidak serius lantaran pemilu merupakan kudeta yang paling konstitusional. Secara sederhana, pendidikan politik pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai pendidikan kesadaran berbangsa dan bernegara terkait sedikit atau banyaknya informasi tentang masalah-masalah kenegaraan yang diterima masyarakat di era digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun