Mohon tunggu...
anindita basuki
anindita basuki Mohon Tunggu... -

lahir 18 maret 1979 di sorong, papua, tapi sekedar numpang lahir. Hijrah n tumbuh di Semarang.menginjakkan kaki di ibu kota RI th 1997 utk menempuh S1. alhamdulillah, sekarang sudah menjadi ibu 1 anak yang menyambi dokter umum. http://dokterdita.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dokter Identik dengan Kaya?

2 November 2009   06:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setelah lulus, mereka berlomba-lomba mencari pekerjaan dengan melamar ke RS, klinik-klinik, menjadi pengajar, menjadi PNS, ikut PTT, menjadi dokter perusahaan / pabrik, ada yang berdikari membuka usaha sendiri,ada yang bekerja paruh waktu di media cetak....(apa lagi ya?). Jangan dikira bekerja di situ langsung kaya ya. Apalagi di Jakarta dengan biaya hidup mahal. Kalau di daerah-daerah kaya, seperti Riau, Maluku, Batam, bolehlah bermimpi habis PTT langsung bisa nabung untuk sekolah lagi. Kalau di Jawa, kalau ga dapat sokongan dari orang tua, mustahil sekolah lagi. Kecuali, si dokter punya bisnis yang menghasilkan.

Bila seorang dokter berpraktik sendiri dengan biaya berobat yang murah ( misalnya 25 - 30 ribu / pasien + obat ), artinya dia tidak mampu membayar dokter pengganti bila dia berhalangan jaga. Karena dokter hanya mendapat 10 ribu-an per pasien.

Terus gimana kalau lulus langsung sekolah lagi? Ambil spesialis?

Hari gini sekolah spesialis senilai dengan harga 1 rumah. Ratusan juta. Pengeluaran terbesar bukan dari sumbangan dan SPP, justru dari pengeluaran selama sekolah. Itu juga kalau diterima. Hehehe....Saingan spesialis ketat dan sering berbau nepotisme.

Beban makin bertambah untuk seorang ibu rumah tangga. Perceraian membayangi. Bagaimana tidak? Saat sekolah spesialis, paling tidak ada 8x per bulan dia tidak pulang ke rumah. Jaga malam. Bayangkan, anda - anda yang bekerja dan kuliah lagi, itu saja sudah membuat capek. Padahal masih pulang ke rumah. Ini, sudah sekolah, mungkin masih harus kerja sambilan, masih harus jaga malam lagi. Akibatnya, suasana rumah tegang. Keluarga kurang diperhatikan. Makanya ada seorang spesialis penyakit dalam yang berkata kalau anaknya yang perempuan jadi dokter, dia akan menyuruhnya kawin dengan dokter juga. Seorang teman saya yang sedang mengambil spesialis bercerita, bila bukan karena permintaan ibunda, dia tidak akan memilih spesialis tersebut. Bohong bila rumah tangga dan pekerjaan berjalan seimbang. Akhirnya, ada 1 yang harus dikalahkan. Untung suaminya yang sudah menjadi anestesi mengerti bebannya dan bersedia menggantikan sementara peran dirinya sebagai ibu rumah tangga.

Begitu keluar spesialis, ga langsung mulus. Cari tempat praktek hingga ke pelosok - pelosok yang jauh dari rumah. Sudah biasa itu rumah di Depok, praktik di Serpong, atau di Cikarang. Karena rumah sakit di kota umumnya sudah terisi. Kalaupun belum, umumnya lebih mengutamakan kawan-kawan, jaringan, atau kerabat.

Kalau sudah jadi spesialis ngetop, pasien ngantri panjang. Belum lagi pasien rawat inap yang harus divisite. Akhirnya, pulangnya bisa jam 11 malam, bahkan dini hari. Setiap hari.....Pertama-tama sih senang. Bangga punya banyak pasien. Tapi lama-lama ya enek. Akhirnya, dia membatasi pasien. Mengurangi jam praktek. Karena kemampuannya emang hanya segitu.

Akhirnya, pesan yang ingin saya share adalah bahwa rejeki sudah ada yang mengatur. Sudah hukum alam bahwa kesuksesan tidak mungkin diraih sekonyong-konyong tanpa usaha. Di belakang cerita sebuah kesuksesan pasti ada cerita kerja keras, disiplin, ketekunan, dan kegagalan.

Saat ini anda melihat dokter langganan anda yang terlihat mapan. Sebenarnya dibelakangnya terdapat sejuta cerita pengorbanan dan air mata yang telah dilalui.

Jadi, dokter tidak identik dengan kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun