Kebakaran hutan terjadi di beberapa wilayah Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Ada beberapa persoalan yang timbul akibat kebakaran hutan. Persoalan pencemaran kabut asap dan emisi karbon menjadi perhatian utama. Kabut asap dan emisi karbon ini muncul karena terbakarnya lahan gambut.Â
Dikutip data terakhir tahun 2015 dari World Resource Institute (WRI) dan Global Fire Emission Database (GFED), kebakaran hutan di Indonesia menghasilkan emisi karbon yang jumlahnya melampaui rata-rata emisi karbon harian seluruh kegiatan perekonomian Amerika Serikat dan kebakaran hutan lahan gambut dapat memicu pemanasan global 200 kali lebih besar daripada kebakaran jenis lahan lainnya.
Persoalan kabut asap dan emisi karbon juga akan menimbulkan permasalahn kesehatan masyarakat tertutama kesehatan saluran pernapasan. Dilansir dari depkes.go.id "secara umum kabut asap dapat mengganggu kesehatan seseorang, baik yang dalam kondisi sehat maupun sakit.Â
Gangguan kesehatan yang dapat timbul jika terpapar lama dengan asap, antara lain: 1) Iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, mulut dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga infeksi; 2) Iritasi pada mata dan kulit, menimbulkan keluhan gatal, mata berair, peradangan, dan infeksi yang memberat; 3) memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik; 4) Mudah terjadi infeksi misalnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang; 5) Gangguan saluran cerna dan penyakit lainnya, jika mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi polutan asap; 6) Berbagai penyakit kronik di berbagai organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, dan lain-lain dapat memburuk. Ini terjadi karena dampak langsung maupun dampak tidak langsung yang mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh atau menimbulkan stres".
Kebakaran hutan di Indonesia juga memliki pengaruh pada sektor perekonomian, pariwisata, transportasi dan lain-lain. Namun, dalam artikel ini tidak akan dibahas secara mendalam.Â
Dalam tulisan ini, penulis memaparkan persoalan keterancaman bahasa (kosakata) akibat kebakaran hutan. Â Kenapa bahasa bisa terancam? Hutan merupakan sebuah ekosistem yang di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati. Keragaman ini tercemin pada flora dan fauna yang ada dalam ekosistem hutan.
Bila hutan terbakar, tentu flora dan fauna yang ada dalam hutan juga ikut hangus. Jika, flora dan fauna tersebut punah tentu masyarakat tidak akan mengenal kosakata flora dan fauna yang hidup dalam hutan tersebut. Kondisi ini tentu akan mengarah pada kepunahan bahasa.Â
Sebab, suatu kelompok masyarakat bahasa tertentu mengembangkan sistem bahasa melaui interaksi dengan lingkungannya. Maksudnya adalah, pemerolehan kosakata suatu kelompok masyarakat bahasa diperoleh melalui alam.
Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai memiliki bahasa yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pegunungan (hutan). Sebab, masyarakat di pesisir pantai lebih dominan mengenal dan melabeli tentang ekosistem laut, seperti kosakata tentang ikan, makroalga (rumput laut), binatang mamalia dan reptile yang hidup di laut dan biota laut lainnya.Â
Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di pegununggan (hutan) memiliki banyak kosakata tentang flora dan fauna yang hidup di pegunungan (hutan). Â Fakta ini membuktikan bahwa lingkungan (alam) merupakan salah satu sumber bahasa.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan perubahan lingkungan ekosistem alam. Perubahan ini dapat menjadi penyebab ketergerusan keberadaan kosakata (leksikon) tentang alam tersebut. Â Jika hal ini dibiarkan tentuk akan berdampak pada perubahan bahasa, baik pergeseran maupun penyusutan dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kosakata (leksikon) dari pemahaman masyarakat setempat.
Hal ini tentu perlu mendapat perhatian yang serius karena bukan saja berdampak pada kepunahan kosakata (leksikon) saja, tetapi juga berdampak pada lingkungan maupun keunikan budaya masyarakat setempat. Sebab, pengetahuan, pemahaman dan pengalaman berinteraksi dengan alam akan melahirkan budaya seni kata atau ungkapan (metafora) yang bersumber dari keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di lingkungan tertentu.
Maksudnya adalah metafora mengandung lambang kias dan makna. Lambang kias yang dipakai dalam metafora tersebut diambil dari lingkungan manusia dalam sistem ekologi yang tersusun secara teratur dalam satu hierarki. Dalam berpikir dan menciptakan metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya karena ia selalu mengadakan interaksi  dengan lingkungannya itu. Dengan sendirinya, keadaan sistem ekologi suatu kelompok masyarakat akan tercermin dalam penggunaan metafora yang diciptakan oleh kelompok masyarakat itu. Sistem ekologi yang diipersepsi  manusia tersusun dalam suatu hierarki yang sangat teratur.
Sudah sepatutnya kita harus melestarikan hutan karena hubungan harmoni antara manusia dan hutan dapat menciptakan keseimbangan ekosistem alam. Keseimbangan ini dapat menjaga dan memperkaya keanekargaman hayati. Kelestarian keanekaragaman hayati dapat mencegah punahnya sebuah bahasa karena pengetahuan dan pemahaman tentang kosakata keanekaragaman hayati tersebut tersimpan dalam memori masyarakat dan diwariskan secara turun temurun. Sehingga memunculkan sebuah kearifan lokal  masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H