Hal tersebut sebenarnya sudah dari zaman terdahulu, dimana pejabat tinggi lebih memikirkan keselamatannya daripada kepentingan masyarakat luas. Dapat dilihat dari aspek hukuman yang dijatuhkan kepada masyarakat kelas bawah dengan contoh kasus pencurian yang diproses secara singkat dan sederhana namun hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan peraturan yang ada atau hukum positif.
Namun sebaliknya, apabila seorang pejabat melakukan korupsi, kolusi, maupun nepotisme maka proses untuk menghukum seorang pejabat akan berbelit belit dan cenderung lama dalam memutuskan perkara. Hukuman yang dijatuhkan tersebut juga tidak sesuai hukum positif karena pejabat tinggi memiliki power yang lebih dalam membela diri.
Hal tersebut terkadang membuat kecemburuan sosial antara masyarakat kelas bawah kepada kelas atas, dimana prinsip pejabat negara sendiri adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Masyarakat kelas bawah merasa dirugikan atas suaranya yang telah mempercayai pejabat tinggi sebagai leader namun sebaliknya menimbulkan ketidak adilan.
Sering kali masyarakat yang lemah dan membutuhkan perlindungan hukum, justru menjadi objek dalam penerapan hukum yang berlebihan. Masyarakat yang merupakan unsur negara sering kali tidak terfikirkan oleh pemerintah atau pejabat tinggi tentang bagaimana keadaan maupun kesejahteraannya.
Masyarakat hanya mengharapkan keadilan yang seadil-adilnya dan tidak lebih, tetapi apalah daya seorang masyarakat yang kurang memiliki power dalam membantu penegakan hukum di negara kita.
Latar Belakang Gagasan Progresif Law
Munculnya gagasan progresif law atau hukum progresif ini dilatarbelakangi dari keadaan hukum Indonesia pasca reformasi yang tidak kunjung mendekati tujuan ideal yaitu hukum yang mensejahterakan masyarakat. Hal tersebut membuat beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat kurang menjurus kearah tujuan negara yang sebenarnya, dimana dahulu hukum itu dibentuk dari aktifitas suatu masyarakat.
Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme.
Dari pemikiran tersebut mulailah suatu hukum dibentuk untuk mengatur masyarakat, dapat diartikan juga bahwa masyarakat harus tunduk terhadap hukum yang sudah ditetapkan. Diharapkan dengan pemikiran tersebut, aktifitas masyarakat lebih terarah dan teratur sehingga tercapai tujuan negara yang sejahtera dan berkembang.Â
Hukum progresif juga bertujuan untuk mendorong pekerja hukum dalam menghasilkan suatu hukum baru untuk mendukung tujuan negara yang lebih tertib dan terarah.
Gagasan Progresif ini terhitung masih relevan karena selama masyarakat tidak merasa terganggu, maka hukum tetap berjalan seperti biasanya. Jadi, hukum itu bukan pranata yang mutlak atau final, melainkan berada dalam proses yang terus menerus menjadi (law in the making). Jika hukum normatif tidak bisa mengatasi persoalan yang terjadi, maka aparat penegak hukum harus berani melakukan rule breaking.