Banten adalah salah satu wilyah penting dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Banten merupakan wilayah yang strategis yang terletak di pesisir Selat Sunda dan sebagai pintu gerbang sebelah barat pulau Jawa melalui jalur Sumatera. Posisi strategis inilah yang menyebabkan Banten menarik perhatian Portugis yang telah menguasai Malaka pada 1511 M. Akan tetapi, penguasa di Demak dan Cirebon dapat menguasai wilayah ini sekitar tahun 1524-1527 M, ketika Syarif  Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dari Cirebon, dengan bantuan dari Demak, mengirimkan pasukannya ke Banten. Setelah Banten dikuasai, Sultan Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai penguasa Banten hingga berdiri Kesultanan Banten, dan ia berkuasa pada 1552-1570 M.
Sebelum Banten menjadi kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari Kerajaan Sunda, yakni Pajajaran. Agama resmi yang dianut Kerajaan Sunda tersebut adalah Hindu. Pada awal abad ke-16 M. Penguasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun. Pusat pemerintahannya pada saat itu terletak di Banten Girang atau Banten Hulu, tepatnya di Kadipaten. Banten Lor atau Banten sebelah utara di mana terletak Surosowan (keraton Kesultanan Banten) masih difungsikan sebagai pelabuhan.
Menurut berita Joa De Barros pada 1516, salah seorang pelaut Portugis, sebagaimana dikemukakan Uka Tjandrasasmita, bahwa "di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negeri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad".
Sejarah awal masuknya Islam ke Banten yang penuh dengan mitos, khususnya dalam historiografi lokal, bisa jadi karena naskah atau sumber yang banyak ditemukan berasal dari masa kolonial Belanda, bisa jadi ditulis juga oleh penulis kolonial, misalnya naskah Sadjarah Banten beraksara Pegon (Arab Jawa) milik Snouck Hurgronje, yang dikatakan disalin dari naskah Jawa pada 1892. Akan tetapi, bukti nyata adanya Masjid Agung Banten, reruntuhan Keraton Surowowan, dan tinggalan-tinggalan arkeologis lainnya merupakan fakta sejarah tentang keberadaan dan perkembangan Islam di Banten. Sejarah penuh mitos perlu juga disebutkan, bukan untuk mengungkap sejarah Banten itu sendiri, tetapi lebih pada pengungkapan adanya penulisan mitos-mitos tersebut dalam sejarah Banten atau dalam historiografi lokal tentang Banten. Dalam konteks sejarah Islam di Nusantara sungguh sangat banyak ditemuan.
Sultan Maulana Hasanuddin berkuasa di Banten sekitar 18 tahun, yakni pada 1552-1570. Ia sebenaranya telah mulai memegang kekuasaan di Banten sejak 1525 tetapi dinobatkannya sebagai Sultan Kesultanan Banten pada 1552. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi kekuasaan dan kekuatan Islam di Banten. Kekuasaannya sudah mencapai Lampung yang merupakan penghasil lada. Untuk kebutuhan di dalam kesultanannya, ia banyak mendirikan masjid dan mengembangkan sarana pendidikan. Sedangkan untuk kepentingan dakwah Islam, ia telah mengutus mubalig-mubalignya ke beberapa daerah yang dikuasainya.
Pada awal kepemimpinannya sebagai Sultan Banten, saat Sultan Maulana Hasanudin pergi ke Tanara beliau mendirikan masjid disana yang sekarang terkenal dengan Masjid Agung Tanara. Pada mulanya bangunan ini hanya berupa rawa ciptaan yang digunakan oleh Sultan Maulana Hasanudin sendiri untuk beribadah dan berdzikir. Setelah 100 tahun berdiri, lalu anak dari Sultan Maulana Hasanudin yaitu Pangeran Sunyararas melakukan perbaikan, memperluas bangunan menjadi 6 meter dan memberi nama masjid ini Masjid Tanjung Aras.
Setelah dilakukan pemugaran oleh Pangeran Sunyararas, pada tahun-tahun selanjutnya Masjid ini juga banyak kembali dilakukan pemugaran. Yang pertama oleh Ki Mas Bugal yang lalu mengganti Namanya menjadi Masjid Bunga Umat, selanjutnya oleh Ki Ali dan berganti nama menjadi Masjid Alami pada masa Ki Ali ini pula bangunan Masjid meluas menjadi 21 meter, selanjutnya oleh Ki Nawawi, Ki Marzuki, dan Ki Abdul Karim dan lalu berganti nama menjadi Masjid Agung Al-Bantani, selanjutnya oleh Ki Ahmad Masin dan Ki Ramli yang lalu berganti nama menjadi Masjid Syekh Nawawi, pada masa ini pula dibangun Bale di di dekat masjid.
Untuk penyebutan nama masjid ini dari masyarakat pun beragam, mulai dari Masjid Syekh Nawawi Al-Bantani, Masjid Pangeran Sunyararas ataupun Masjid Agung Tanara. Tetapi dilokasi sendiri terdapat plang yang menandakan bahwa nama masjid ini adalah Masjid Agung Tanara.
Dibandingkan dengan Masjid Agung Banten memang Masjid ini kurang begitu terkenal,. Syibromalisi, seorang wakil ketua Masjid Agung Tanara memaklumi hal tersebut karena memang tidak banyak peneliti yang menjadikan masjid ini sebagai objek. Bahkan banyak buku sejarah di Banten pun tidak menyebutkan keberadaan masjid ini.
Membahas tentang arsitektur yang ada di Masjid Agung Tanara ini memikiki bentuk bangunan yang hampir sama dengan Masjid Agung Banten. Masjid ini memiliki denah segi emapat dengan tempat imam yang menjorok ke dalam, masjid ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu bagian dalam masjid, serambi dalam, serambi kanan, serambi kiri dan kolam wudhu, luas bangunan masjid saat ini yaitu 15x15 meter. Di bagian utama masjid terdapat mihrab khutbah yang masih asli terbuat dari kayu dengan tinggi 4 meter dan desainnya memiliki kemiripan dengan yang berada di Masjid Agung Banten. Peninggalan dari Sultan Maulana Hasanudin yang masih terlihat dari masjid ini yaitu pada bagian Mihrab Imam yang memiliki tinggi hanya 165 cm, walaupun terlihat pendek tetapi setiap jamaah yang menjadi imam tetap bisa masuk ke dalam. Desain ini memiliki nilai filosofis yang menganjurkan bahwa ketika sholat kepala dan mata kita baiknya mengarah ke tempat sujud.
LAMPIRAN