Mohon tunggu...
Ani Mulyani
Ani Mulyani Mohon Tunggu... Freelancer - Pengajar

Tertarik dengan isu-isu sosial budaya. Semoga tulisan saya bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pentingnya Pendidikan Pola Asuh Guna Mencegah KDRT Sejak Dini

2 Januari 2024   05:02 Diperbarui: 3 Januari 2024   12:49 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan dalam hubungan. Dokter Qory mengalami luka dan trauma akibat KDRT yang dilakukan suaminya, Willy Sulistio (39).(thinkstock/lolostock)

Ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara sehat, sering kali membuat orang memilih untuk mengekspresikannya melalui perbuatan kekerasan. Kemampuan mengekspresikan emosi ini, tentu harus bisa dilakukan ketika seseorang lebih dulu mampu mengenali emosi yang sedang dirasakan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) belakangan semakin ramai menjadi sorotan di berbagai media massa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tren kasus KDRT secara fisik mengalami penurunan sejak tahun 2019 hingga 2022, tetapi data untuk KDRT secara verbal belum ada. Padahal, efek yang dihasilkan antara kasus KDRT, baik secara verbal maupun fisik berdampak buruk bagi kesejahteraan korban.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang paling keji dan tidak manusiawi ramai diperbincangkan, yakni KDRT yang berujung pada tindak kejahatan mutilasi terhadap korban. Mutilasi adalah tindakan pemisahan atau pemotongan tubuh korban.

Bisa dibayangkan tindakan ini dilakukan bukan dalam waktu singkat, karena memisahkan anggota tubuh manusia tentu tidaklah mudah. Perlu effort dan keberanian yang tinggi dalam melakukan tindakan mutilasi.

Baru-baru ini kabar menghebohkan datang dari kasus seorang suami yang melakukan KDRT dan tega memutilasi jasad istrinya di Malang, Jawa Timur, kasus ini terungkap di penghujung tahun 2023. 

Pelaku memotong tubuh korban menjadi sepuluh bagian dan meletakkannya dalam ember. Pelaku kemudian menyerahkan diri ke polisi atas perbuatannya tersebut.

Menanggapi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung tindakan mutilasi terhadap korban, timbul dua pertanyaan dalam diri, yakni (1) Mengapa para pelaku bisa bertindak begitu agresif terhadap orang yang memiliki hubungan dekat dengannya? (2) Mengapa pelaku sampai hati melakukan tindak mutilasi?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut, kita perlu memahami bahwa awal permulaan tindakan keji tersebut adalah kekerasan yang dilakukan pelaku, baik itu kekerasan verbal maupun fisik.

Dalam Cambridge Dictionary kekerasan atau violence adalah tindakan ekstrim yang dimaksudkan untuk melukai orang atau menyebabkan kerusakan. Umumnya, kekerasan ditimbulkan sebagai pelampiasan emosi marah, kesal, kecewa, cemas, khawatir ataupun emosi lainnya.

Ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara sehat, sering kali membuat orang memilih untuk mengekspresikannya melalui perbuatan kekerasan. Kemampuan mengekspresikan emosi ini, tentu harus bisa dilakukan ketika seseorang lebih dulu mampu mengenali emosi yang sedang dirasakan.

Bagaimana seseorang bisa mengekspresikan emosi secara tepat, tentu perlu menjadi perhatian bagi setiap kita. Dimulai dari lingkungan keluarga, yakni pola asuh orang tua.

Ilustrasi Kekerasan (Sumber : unsplash.com) 
Ilustrasi Kekerasan (Sumber : unsplash.com) 

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui pola asuh yang baik sedari dini untuk meminimalkan atau bahkan menghindari potensi kepribadian anak yang dekat dengan kekerasan. Berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan orangtua dalam menerapkan pola asuh sehat bagi anak.

Terima Emosi Anak Apa Adanya

Kita pasti pernah mendengar tangisan bayi yang baru lahir. Ini merupakan repons alami bayi ketika beradaptasi atau mulai mengenal lingkungan baru, yang merupakan tanda bayi sehat dan normal. Emosi adalah perasaan alami yang dimiliki manusia untuk merespon sesuatu yang ada di sekitarnya

Sering kali saat mulai balita, anak-anak yang menangis tantrum karena minta sesuatu atau karena merasa tidak nyaman, orang tua langsung memarahinya, membentak atau mengancam dan menyuruhnya untuk diam. Anak-anak akan terdiam, tetapi ia belajar menekan perasaannya.

Padahal dengan menerima emosi anak apa adanya, saat anak menangis kita bisa menanyakan apa yang sedang ia rasakan. Apakah ia sedang sedih, marah, kesal atau lainnya, bukan malah menyuruhnya diam. Ketika ia menekan perasaannya maka ia tidak belajar mengenali emosinya dan tentu tidak mampu belajar bagaimana sebaiknya mengekspresikan emosi yang ia rasakan.

Oleh karena itu, ada baiknya kita sebagai orang tua atau orang yang lebih tua menghindari melarang anak menangis. Biarkan anak-anak belajar mengekspresikan emosinya, berikan ruang untuknya mengenali emosi yang sedang dirasakan dan bantu ia mengekspresikan emosinya dengan memberikan contoh secara wajar.

Hindari Memarahi Anak Berlebihan

Tidak ada satu pun orangtua yang tidak pernah memarahi anaknya. Memarahi anak itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi memarahi anak baiknya dengan cara dan bahasa yang tepat. 

Ketika orangtua sedang merasakan kesal, frustasi khawatir ataupun marah, tidak sedikit yang menjadi tidak sabar sehingga suka berteriak, membentak, mengancam berkata kasar bahkan memukul atau menyakiti fisik anaknya. 

Dampak yang ditimbulkan terhadap anak yang dimarahi berlebihan dapat menjadikan ia tertekan dan meningkatkan perilaku menyimpang, membuatnya takut melakukan kesalahan, sehingga kepercayaan kepada dirinya sendiri kurang, anak mengembangkan sikap perfeksionis, hingga stres dan depresi bahkan sampai dewasa.

Sebagai orangtua, jika kita mulai merasakan emosi yang membuat kita marah kepada anak maka baiknya tenangkan diri dulu, berikan jarak dengan kemarahan yang kita rasakan. Coba pahami apa yang membuat kita marah dan komunikasikan kepada anak dengan bahasa yang mudah ia mengerti tanpa menyakiti hatinya. Beritahu anak bahwa kita marah dan tidak suka dengan perilakunya disertai dengan penjelasan mengenai alasan mengapa kita tidak menyukainya atau melarangnya.

Hindari Terlalu Strict terhadap Anak

Kecenderungan orangtua yang berperilaku strict atau kaku terhadap anaknya memiliki harapan tinggi kepada anak-anaknya. Orangtua berperilaku strict dengan memberikan sedikit kebebasan terhadap anak, tidak ada ruang anak mengungkapkan dirinya, pendapatnya secara bebas.

Anak-anak cenderung dikekang dan dikontrol untuk melakukan kemauan orangtua. Orangtua beranggapan bahwa mereka tahu yang terbaik untuk anak-anaknya.

Anak-anak yang dibesarkan dengan perilaku orangtua yang strict cenderung mengalami kesulitan dalam mengekspresikan dirinya, sulit menentukan keputusan dalam hidup, menjadi lebih dependent terhadap orang lain, bahkan bersikap memberontak disertai sikap yang agresif dan impulsif.

Orangtua memang menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, sikap yang tidak menoleransi kesalahan atau kegagalan anak-anak bukanlah hal yang bijak. Mereka bertumbuh dan berkembang dengan cara mereka, mencoba hal-hal baru, belajar dari sekitarnya bahkan belajar dari kesalahan yang ia lakukan.

Jadi sebagai orangtua, pengalaman hidup yang telah kita lewati bukanlah template yang harus kita setting bagi anak-anak kita, biarkan mereka eksplorasi dunianya sendiri, jaga batas aman dari keinginan mengontrol masa depan mereka.

Percaya bahwa mereka bisa melewati pembelajaran hidupnya, kita cukup menemani, mendukung tumbuh kembangnya dan mengajarkan anak untuk membedakan perilaku moral yang baik dan buruk. Selalu berikan ruang untuk berdiskusi, biarkan ia mengekspresikan diri dan eksplorasi sesuai dengan perkembangannya selagi itu positif.

Berikan Contoh Meminta Maaf dan Memaafkan Kesalahan

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, tak terkecuali kita sebagai orangtua. Ketika kita melakukan kesalahan di depan anak atau bahkan kepada anak, tidak perlu gengsi atau malu mengakuinya dan meminta maaf kepada mereka. Mereka adalah peniru yang ulung, mereka belajar dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialaminya.

Sebagai anak yang sedang belajar dan memahami dunia tempatnya berada, tentu banyak melakukan kesalahan dan mungkin membuat kita sebagai orangtua sedih, marah dan kecewa. Tetapi, ingat di saat ia berani mengakui kesalahannya kepada kita, hargai dan syukuri karena ia tidak menutupi atau menyembunyikan kesalahannya dari kita. Dengan berbesar hati, ia mampu mengakui kesalahannya.

Tidak ada orangtua yang dengan sengaja membuat anak-anaknya menjadi orang yang berperilaku keji seperti melakukan tindak kekerasan. Apa yang orangtua lakukan untuk anak-anaknya adalah versi terbaik menurut mereka. Saya sadar bahwa menjadi orangtua tidaklah mudah, karena menjadi orangtua adalah belajar seumur hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun