Kedua, pemberitaan mulai berani dalam melakukan delegitimasi kebijakan orde baru sejak minggu kedua Mei 1998.
Ketiga, setelah peristiwa penembakan Mahasiswa Trisakti pada 12 Mei yang diikuti kerusuhan sosial, tiap televisi berlomba menyajikan pemberitaan yang lebih jelas, gamblang, dan dramatis.
Keempat, setelah Soeharto mundur, pemberitaan semakin berani karena hilangnya segala pembatas yang dibuat oleh Soeharto.
Televisi swasta yang awalnya berada di bawah kendali Soeharto akhirnya tidak lagi bisa dikendalikan oleh Soeharto maupun pemilik yang merupakan keluarga dan kroni Soeharto. Kejatuhan kekuasaan Soeharto yang hegemonik dan sentralistik, justru diawali dengan masuknya keluarga dan kroni Soeharto dalam industri pertelevisian. Namun dalam perkembangannya, Soeharto tidak mampu untuk mengontrol suara kritis dari para jurnalis yang ternyata menjadi salah satu penyebab meluas dan cepatnya gelombang reformasi akibat tayangan televisi, dan tentu menghancurkan rezim orda baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H