Mohon tunggu...
Ani Mulyani
Ani Mulyani Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya pemula

Pemikir yang selalu berpikir. Millenials squad

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pura-pura Lupa

23 April 2020   12:20 Diperbarui: 23 April 2020   13:36 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara hujan yang bagiku sangat indah bagaikan pengganti musik dikala sinyal sulit didapatkan untuk streaming musik. Merdu tanpa bisa mendengar suara lainnya, seakan hujan mengambil alih semua keadaan, memberhentikan aktivitas di luar ruangan bak raja yang sedang turun dari singgasananya. “Syahdu ya suara hujan nya ka” lirihku kepadanya, seseorang yang sudah menemaniku selama masa kuliah ini. Dia yang dulu ku kenal adalah seseorang yang tidak tertarik dengan yang namanya mahasiswi baru atau maba, selalu menganggap bahwa jatuh cinta kepada maba adalah cinta monyet, cinta yang datang dengan tidak serius. Tapi kini dia takluk denganku, entah pikirannya yang terbuka dengan kehadiranku atau ya memang ini adalah takdir dan ketika berpacaran pun aku masih tetap memanggilnya dengan sebutan kakak, bagiku kakak adalah kata paling romantis jika pengucapannya diucapkan dengan nada kasih sayang.


“Nyenengin kamu itu gampang ya, ngeliat hujan aja senang banget,” ungkapnya dengan nada reseknya. “Ah bt deh, gitu banget sama aku,” jawabku dengan cemberut, bagiku ucapan seperti itu bisa membuat moodku hilang, walaupun aku tahu dia hanya iseng kepadaku. “Yah ngambek, ya udah deh denger musik aja yook biar gak moodyan lagi.” Ucapnya sambil mengacak-acak kerudungku yang sedikit basah oleh air hujan, ya karena kami sedang menunggu hujan reda di pinggir jalan. Rencana nongkrong di kafe pun terhambat karenanya, namun suasana dingin yang menurutku menyejukkan hati membuat aku tidak menggerutu karena kedatangannya, akupun menikmatinya, namun rusak dengan keisengan dia. “Pake earphone nih ka, lagunya aku yang milih ya,” tanganku pun sigap memasangkan earphone di telinganya.


Jangan datang lagi cinta, bagaimana aku bisa lupa, padahal kau tahu keadaannya, kau bukanlah untukku. Jangan lagi rindu cinta, ku tak mau ada yang terluka, bahagiakan dia, aku tak apa, biar aku yang pura-pura lupa..........................


Hening, suara hujan pun semakin syahdu dengan tambahan lagu yang begitu melow, rasanya sedih sekali alur cerita dari lagu ini. “Ka lagunya melow banget ya, jadi takut punya kisah cinta kayak lagu ini, semoga kisah kita gak kayak lagu ini ya ka,” aku pun tersadar dengan ucapanku itu, dia langsung menatapku dan berbisik di telingaku “Amiin, lagi hujan loh, semoga dikabulkan sama yang di atas.” Mendengar perkataannya membuat aku bersyukur telah memilihnya, menyerahkan hidupku kepada-Nya untuk selalu bersama dia.

-------------------------


 “Sha, Sha... woy anteng banget dengerin lagu hujan-hujan gini, streaming ya lo? Lagi banyak petir tau, ntar kesamber petir gosong lo,” lamunanku terhenti oleh teriakan Nisa sahabatku yang sedikit tomboi ini, bukan tomboi sih tapi mandiri dan katanya dia alergi sama laki-laki, makanya dia berusaha menjadi cewek mandiri supaya tidak ada cowok yang bisa ngeremehin dia, terutama cowok buaya kayak dia, iya mantan pacar yang barusan ada di pikiranku. Sekedar lewat saja di pikiran, rugi kalau berlama-lama diam. “Ah budek nih kuping gue, ini lagunya gue download, wifi juga dimatiin ko tenang aja mba nya,” Jawabku kesal kepadanya. “Ya maap Arisha yang lutuhh kayak marmut, pasti lagi ngegalau mikirin tuh kating yang ninggalin lo gitu aja kan? Trus tiba-tiba dateng bawa cewek baru. Udah deh Sha gak penting tau, dia juga bentar lagi mau lulus,” jleb sekali ucapan Nisa, seakan-akan dia mampu menjelajah otakku ini. “Ishh, gak lah ngapain juga ngelamunin dia, gue sedih aja pas dengerin lagu ini, lagu kenangan terakhir gue sama dia sebelum dia student exchange ke
Malaysia. Ko alurnya bisa sama gini ya,” keluhku padanya. Nisapun tak bisa berkata lagi, dia tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.


 18  Februari 2019 tepat hari jadian kami dan satu tahun setelahnya kami pun berpisah, dia yang menginginkan hal itu, ingin fokus terhadap mimpinya adalah alasan kenapa kita berpisah. Cukup tidak adil bagiku, setelah student exchange sikapnya berubah dan tiba-tiba saja kami berpisah. Awalnya aku kira memang dia ingin benar-benar fokus terhadap studinya, organisasi yang diikuti dan juga mimpinya yang lain, namun 1 bulan setelah putus diapun datang kembali ke kehidupanku. Datang dengan tanpa memiliki beban ke dalam organisasi yang hampir ia tinggalkan begitu saja. Aku yang awalnya merasa senang atas kehadirannya di sini, di tempat pertama kami bertemu, lalu musnah begitu saja setelah tahu dia sudah tak sendiri. Fokus adalah alasan dia meninggalkanku, tapi itu semua bukan alasan sebenarnya. Perubahan drastis setelah kembali dari Negeri Jiran membuatku sedikit curiga, namun aku berusaha untuk tetap percaya padanya, sampai dia rela mengucapkan kata perpisahan yang benar-benar belum pernah aku bayangkan sebelumnya, hari-hariku pun berubah menjadi mimpi buruk, kedatangannya menjadi suatu harapan baru dan seketika pula harapan itu pupus dalam hitungan detik.
Bulshit, itulah yang selalu ingin aku katakan kepadanya. Mengapa kau datang kembali untuk menambah luka yang sudah aku kubur dalam-dalam, bukan sebagai penyembuh luka.


Hari kamis adalah hari paling menyenangkan, itu dulu. Sekarang kamis adalah hari dimana aku tak ingin berjumpa apalagi melaluinya, setelah pertemuanku dengannya kamis lalu di tempat biasa kami diskusi, aku pun enggan untuk datang dan melihatnya lagi, yang ada di pikiranku hanyalah berpura-pura sakit agar aku mempunyai alasan untuk tidak pergi ke sana. Satu kali alasan itu berhasil, minggu berikutnya aku pun bingung untuk membuat alasan lagi, rasanya habis semua ide yang ada di dalam otakku, teman-teman organisasiku juga tahu semua kegiatanku di kampus, rasanya sulit mencari-cari alasan lagi. “Sha, jangan lupa diskusi ya, lo jadi moderator besok, udah jadwal lo soalnya.” Seketika whatsapp dari teman membuatku tersadar bahwa kamis ini adalah tugasku menjadi moderator. Kacau dan entah apa yang harus aku lakukan kali ini. Sakit lagi? ah aku takut kena azab dari Tuhan, lalu apa? Hadapi dan hiraukan dia? Bagaimana bisa aku menghadapinya, rasanya seperti ingin meledak di depannya. Akhirnya aku memutuskan untuk datang saja, tak peduli apa yang akan terjadi. Hanya tidak rela saja jika dia merasa menang atas permainan yang dia mulai.


“Sha, minggu kemarin kamu sakit ya? Sakit apa emangnya?” suara yang tidak ingin aku dengar namun entah kenapa harus menanyakan hal ini. Hati ini bergejolak, apa maumu? Apa maksudmu? Kenapa kau seperti ini? Jangan datang bila hanya membuat hati ini hancur, jangan mendekat bila kau sudah memilihnya. Sungguh ini menyiksa, ingin semua memori tentangnya hilang terbawa pergi oleh rasa sakit ini. Bila kau jujur atas perpisahan kita mungkin tidak akan sesakit ini rasanya. “Sakit biasa aja ko,” jawabku singkat dan langsung pergi menjauh. Beberapa saat setelah diskusi selesai aku pun pergi ke toilet, masih teringat pandangan yang membuat seluruh tubuh ini sakit ketika melihat mereka duduk bersampingan dan berpegangan tangan saat sedang memperhatikan pemantik dan aku sebagai moderator tentu harus tetap fokus terhadap jalannya diskusi kali ini. “Aargggg ya Allah,” keluhku pelan bahkan nyaris tak terdengar. 


Entah mengapa rasanya sesakit ini, dia yang dulu aku puja seseorang yang membuatku melupakan prinsip ku untuk tidak berpacaran, untuk menjadi jomblo sampai halal pun hancur karenanya, namun dia pula yang benar-benar mematahkan hati ini, layaknya kaca yang sudah pecah berkeping-keping dan sulit untuk disatukan, walaupun bisa dibentuk kembali namun tak akan indah seperti semula. Dialah pacar pertamaku dan mungkin akan menjadi yang terakhir, mungkin ini benar-benar teguran dari-Nya. Cinta yang tak halal akan berujung kepada kehancuran, aku telah salah memilih jalan, salah memilih cinta yang belum tepat dan  juga di waktu yang salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun