Mohon tunggu...
Ani Mariani
Ani Mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Middle Eastern Studies | International Relation Analysis | Political, Economic, Religion, Social, Religion, Feminism Enthusiast | Research | Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tradisi Melahirkan yang Tiada Henti juga Kehilangan Makna Sesungguhnya

7 Mei 2024   09:05 Diperbarui: 7 Mei 2024   09:23 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi memang masih melekat dengan masyarakat Indonesia. Terutama di daerah. Masih banyak yang melestarikan tradisi yang telah ada secara turun temurun. Namun, tidak jarang tradisi kadang justru membuat pusing. Bukan karena tradisinya, namun akan orang-orang yang memaknai akan tradisi tersebut.

Salah satu tradisi yang masih lestari adalah tradisi saat melahirkan. Sebelum pindah ke tempat suami di Bantul, saya tinggal dan besar di Bandung. Sudah  lebih dari 10 menyambut kelahiran keponakan dari 3 kaka. Namun tidak seribet dengan kelahiran di Bantul.

Di Bandung, orangtua yang baru melahirkan hanya mempersiapkan aqiqahan saat bayi lahir. Berbeda dengan Bantul, bahkan sejak sebelum sang bayi lahir, saya sebagai new mom sudah di pusingkan dengan berbagai persiapan tradisi yang katanya wajib dilakukan, kalau tidak, malu sama tetangga.

Setidaknya, harus mempersiapkan 3 acara. Pertama, brokohan, aqiqah kemudian mengembalikan uang sumbangan.

Sederhananya, dalam brokohan kita menyiapkan minimal 100pcs nasi box untuk dibagikan kepada tetangga. Baiklah, saya bisa menganggap ini sebagai rasa syukur dengan memberikan sedikit rezeki kepada tetangga atas kelahiran anak melalui tradisi ini. Namun yang disayangkan adalah, prinsip syukur kini telah menjadi, tuntutan dan kewajiban hingga muncul perasaan malu, tidak enak, tidak pantas jika tidak melakukan tradisi ini.

Sedangkan yang saya tahu, sebagian besar penduduk di wilayah tempat tinggal saya adalah sebagian petani, buruh, pekerja serabutan yang belum tentu semua orang mampu untuk mengadakan 100 nasi box di tengah persiapan dan kebutuhan ibu dan bayi yang banyak. Namun masyarakat disini, diwajibkan untuk menyiapkan dana lebih banyak diluar kebutuhan primer.

Kemudian, memang bukan hal aneh jika setelah melahirkan akan banyak yang menjenguk sang bayi dan mengucapkan selamat sembari memberikan angpao ataupun kado untuk sang bayi. Sekali lagi, di Bantul hal ini wajib dilakukan. Seolah menggelar Open house, saat sang ibu dan bayi sudah kembali ke rumah, pengumuman akan di gemangkan di masjid untuk ajakan datang kerumah yang baru saja melahirkan.

Jika sang ibu tidak menerima tamu dengan alasan keamanan bayi dari sentuhan, ciuman dan asap rokok dari orang luar. Maka hal ini tidak dapat diterima. Bagaimanapun harus melakukan open house. Jika tidak, maka malu sama tetangga kalo nggak ngasih apa-apa.

Dan lagi, semua yang datang sudah dipastikan akan membawa amplop. Dan isi dari amplop ini akan menjadi hutang bagi sang ibu. Wajib dicatat siapa yang memberikan, jumlah yang diterima, kemudian setelah aqiqahan atau usia bayi sudah 40 hari, maka harus mengembalikan isi amplop tersebut berupa bingkisan sembako, bisa berupa telur, minyak, gula, beras, dll.

Pengalamanku di Bandung, kebanyakan orang yang menengok adalah orang yang benar-benar dekat dengan sang ibu atau ayah sang bayi untuk memberikan selamat. Kado ataupun amplop tidak bersifat wajib dan tidak ada beban bagi sang ibu untuk mengembalikan hadiah yang telah diberikan.

Disini saya bisa melihat ketimpangan dalam hal persiapan kelahiran di kota dan desa. Di perkotaan, Ibu yang melahirkan bisa fokus mempersiapkan kelahiran, menyiapkan fisik, mental dan pikiran yang tenang. Karena memang aqiqah merupakan syariat islam, sehingga saat hamil tentu harus sudah mempersiapkan dana untuk aqiqah. Dan aqiqah ini pun tidak bersifat terburu-buru. Jika belum mampu melakukan aqiqah saat bayi, maka dilakukan kapanpun hingga sang anak sudah dewasa. Saya sendiri pun melakukan aqiqah saat saya SMA.  Lalu, teman saya aqiqah saat melakukan lamaran, menyembelih 1 kambing.

Sedangkan di desa tempat saya tinggal sekarang, harus pintar membagi dana untuk pemeriksaan kesehatan yang tidak tercover bpjs, kebutuhan ibu dan bayi, aqiqah serta tradisi-tradisi yang dianggap tabu jika tidak dilakukan. Fokus pikiran, waktu dan tenaga pun menjadi lebih terbagi untuk mempersiapkan banyak acara.

Oh Iya saya ingat betul ketika akan mengadakan acara syukuran 4 bulanan. Mertua tiba-tiba saja menyodorkan rincian dana kurang lebih 5 juta untuk tasyakuran 4 bulanan. Akhirnya saya memilih untuk melakukan 4 bulanan di Bandung dengan dana yang lebih hemat yang penting khidmat.

Belum lagi tuntutan untuk acara mitoni, karena ini anak pertama. Namun saya bilang 4 bulanan sudah cukup untuk menunjukan rasa syukur dan panjat doa untuk keselamatan sang bayi. Yang penting, ayah dan ibu nya berdoa setiap hari untuk keberkahan dan keselamatan. Untung keluarga suami tidak ngotot dan mengerti dan tidak bawa-bawa kata tabu, atau malu sama tetangga.

Terakhir yang bikin saya shock adalah, jalan kaki merupakan hal tabu juga, hal yang memalukan. Bagaimanapun, jalan kaki adalah olahraga ringan yang bagus untuk ibu hamil. Sehingga saya suka jalan pagi atau sore keliling kampung, keliling persawahan atau sekedar ke warung untuk membeli sayur. Namun hal ini dilarang dengan dalih, "malu diliatin tetangga kalo jalan kaki". Jadi minimal harus menggunakan sepeda kalau ke warung. Lebih bagus lagi pake motor.  Kalau melihat ada orang jalan kaki, auto jadi bahan omongan. Pola pikir macam apa ini Tuhan. Dan lagi, hal-hal kolot yang masih dianggap tabu adalah laki-laki tidak pantas belanja ke warung. Semua pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, bukan tanggungjawab kedua pasangan.

Selain tradisi yang tiada henti, hidup disini harus siap berhadapan dengan pola pikir yang masih mengedepankan takut akan penghakiman orang lain. Padahal kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Dan juga tidak akan ada habisnya kalau melulu mikirin apa kata tetangga. Yang ada capek sendiri. Bukankah lebih banyak prioritas yang harus dipikirkan dan dilakukan ketimbang mikirin apa kata orang lain yang bahkan tidak bertanggungjawab atas hidup kita.

Sekali lagi, bukan tradisinya yang salah. Namun pola pikir manusia yang terkadang merusak manusia itu sendiri. Bagus memang menyiapkan bingkisan untuk dibagikan tetangga selagi mampu dan diniatkan untuk menunjukan rasa syukur, bukan untuk menutupi rasa malu apalagi untuk menutup mulut tetangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun