Disini saya bisa melihat ketimpangan dalam hal persiapan kelahiran di kota dan desa. Di perkotaan, Ibu yang melahirkan bisa fokus mempersiapkan kelahiran, menyiapkan fisik, mental dan pikiran yang tenang. Karena memang aqiqah merupakan syariat islam, sehingga saat hamil tentu harus sudah mempersiapkan dana untuk aqiqah. Dan aqiqah ini pun tidak bersifat terburu-buru. Jika belum mampu melakukan aqiqah saat bayi, maka dilakukan kapanpun hingga sang anak sudah dewasa. Saya sendiri pun melakukan aqiqah saat saya SMA. Â Lalu, teman saya aqiqah saat melakukan lamaran, menyembelih 1 kambing.
Sedangkan di desa tempat saya tinggal sekarang, harus pintar membagi dana untuk pemeriksaan kesehatan yang tidak tercover bpjs, kebutuhan ibu dan bayi, aqiqah serta tradisi-tradisi yang dianggap tabu jika tidak dilakukan. Fokus pikiran, waktu dan tenaga pun menjadi lebih terbagi untuk mempersiapkan banyak acara.
Oh Iya saya ingat betul ketika akan mengadakan acara syukuran 4 bulanan. Mertua tiba-tiba saja menyodorkan rincian dana kurang lebih 5 juta untuk tasyakuran 4 bulanan. Akhirnya saya memilih untuk melakukan 4 bulanan di Bandung dengan dana yang lebih hemat yang penting khidmat.
Belum lagi tuntutan untuk acara mitoni, karena ini anak pertama. Namun saya bilang 4 bulanan sudah cukup untuk menunjukan rasa syukur dan panjat doa untuk keselamatan sang bayi. Yang penting, ayah dan ibu nya berdoa setiap hari untuk keberkahan dan keselamatan. Untung keluarga suami tidak ngotot dan mengerti dan tidak bawa-bawa kata tabu, atau malu sama tetangga.
Terakhir yang bikin saya shock adalah, jalan kaki merupakan hal tabu juga, hal yang memalukan. Bagaimanapun, jalan kaki adalah olahraga ringan yang bagus untuk ibu hamil. Sehingga saya suka jalan pagi atau sore keliling kampung, keliling persawahan atau sekedar ke warung untuk membeli sayur. Namun hal ini dilarang dengan dalih, "malu diliatin tetangga kalo jalan kaki". Jadi minimal harus menggunakan sepeda kalau ke warung. Lebih bagus lagi pake motor. Â Kalau melihat ada orang jalan kaki, auto jadi bahan omongan. Pola pikir macam apa ini Tuhan. Dan lagi, hal-hal kolot yang masih dianggap tabu adalah laki-laki tidak pantas belanja ke warung. Semua pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, bukan tanggungjawab kedua pasangan.
Selain tradisi yang tiada henti, hidup disini harus siap berhadapan dengan pola pikir yang masih mengedepankan takut akan penghakiman orang lain. Padahal kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Dan juga tidak akan ada habisnya kalau melulu mikirin apa kata tetangga. Yang ada capek sendiri. Bukankah lebih banyak prioritas yang harus dipikirkan dan dilakukan ketimbang mikirin apa kata orang lain yang bahkan tidak bertanggungjawab atas hidup kita.
Sekali lagi, bukan tradisinya yang salah. Namun pola pikir manusia yang terkadang merusak manusia itu sendiri. Bagus memang menyiapkan bingkisan untuk dibagikan tetangga selagi mampu dan diniatkan untuk menunjukan rasa syukur, bukan untuk menutupi rasa malu apalagi untuk menutup mulut tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H