Di berbagai media kita sering kali di suguhkan informasi bahwa dalam peristiwa Arab Spring, masyarakat Arab berbondong-bondong turun ke jalan untuk memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia dan kesejahteraan yang lebih layak.
Namun, jika kita lebih kritis lagi. Demokratisasi hanyalah cangkang. Yang menjadi agenda utama adalah sumber daya minyak. Perancis memiliki kepentingan minyak di Libya, di mana salah satu ladang minyak terbesar di Libya dikelola oleh perusahaan asal Prancis, yaitu perusahaan total.
Perancis memprovokasi masyarakat Libya untuk menurunkan Gaddafi oleh wacana demokrasi dan reformasi. Alasannya adalah, Gadaffi yang menjunjung tinggi nilai sosialis dan menguasai energi minyak di dunia tidak memberikan kesempatan bagi Barat.
Pada akhirnya, Barat menggunakan nilai ideologi demokrasi untuk menghancurkan Gaddafi menggunakan masyarakat Libya.
Agendanya, angkatan bersenjata dari Amerika Serikat, Inggris dan Perancis membantu masyarakat Libya untuk melakukan perlawanan terhadap Gaddafi. Hingga Gaddafi berhasil dijatuhkan dan tewas di tangan rakyatnya sendiri.
Sehingga apa yang terjadi di Libya, hanyalah agenda global untuk melawan Gaddafi dan pengamanan aset Barat yang ada di Libya.
Pertanyaannya, apakah masyarakat Libya benar-benar menginginkan sebuah demokrasi?
Jawabannya adalah tidak. Etnik yang terbelah di Libya tidaklah memperjuangkan nilai demokrasi, melainkan memperebutkan sumber daya alam itu sendiri. Libya adalah negara yang kaya minyak, gas alam dan gypsum. Ekonominya tergantung pada sektor minyak yang mewakili 95% dari ekspor.
Kita bisa lihat bagaimana indeks demokrasi di Timur Tengah dari tahun pergolakan Arab Spring, 2011 hingga tahun 2023, dimana Libya memiliki indeks demokrasi yang sangat buruk.
Intervensi Barat ini juga terjadi di Suriah, Mesir, Irak, Sudan Selatan, Mesir bahkan Afghanistan. Barat menggambarkan arus demokratisasi di Timur Tengah untuk mengamankan aset di wilayah Timur Tengah.
Artinya, demokrasi di Timur Tengah hanyalah ideologi yang digunakan oleh sebagian kelompok pro-barat untuk legitimasi publik dalam meraih kekuasaan. Dengan berhasil menjatuhkan rezim otokratis yang berkuasa sebelumnya, membuat label "pahlawan" kepada pemberontak yang berjuang dalam masa transisi. Hal ini hanya menciptakan praktik kekuasaan oligarki di bawah agenda demokrasi dan menciptakan pemberontak-pemberontak lainnya. Akhirnya, menjadi pengulangan sejarah dan penderitaan yang tidak ada akhir bagi masyarakat Timur Tengah.