Setelah menjalani pernikahan, saya mengetahui bahwa saya berada dalam lingkaran setan. Selalu meributkan hal yang sama. Penyelesaian dengan cara yang sama. Lalu saling memaafkan dan berkomitmen untuk lebih baik kedepannya. Namun yang terjadi, adalah kembali ke titik awal.
Hal tersebut karena saya selalu berpikir bahwa semua hal dalam dunia ini adalah tentang saya, tidak peduli bagaimana dengan pasangan apapun kondisinya. Yang penting kebutuhan emosional saya harus terpenuhi. Maka, ketika ada suatu hal tidak berjalan sesuai rencana atau ekspetasi, hasilnya adalah emosi yang tak terelakkan.
Reaksi terhadap emosi sesaat itulah yang dapat merusak keseimbangan dan kejernihan mental. Terlepas dari kamu laki-laki atau perempuan. Saya percaya bahwa pernikahan bukanlah sisa-sisa penindasan dari patriarki. Premis bahwa laki-laki bertanggung jawab penuh dalam berhasilnya dalam pernikahan hanya akan membawa kepada langkah awal memasuki lingkaran setan dalam pernikahan. Pemikiran seperti itu bukanlah sebuah dialog, tapi hanya menyisakan sebuah ekspektasi ideologis akan kesempurnaan yang tidak memberikan ruang untuk diskusi atau kompromi.
Hubungan yang sehat berarti membangun hubungan yang memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Lupakan patriarki. Lupakan maskulin. Ketika menjalin hubungan, maka kamu bersama seseorang dengan keinginan, kebutuhan, dan perasaan uniknya masing-masing. Karakter bukan mengenai gender tertentu, tapi mengenai seseorang. Jangan biarkan persepsi yang salah mengenai maskulinitas membunuh keharmonisan dalam pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H