Mohon tunggu...
Ani Mariani
Ani Mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Middle Eastern Studies | International Relation Analysis | Political, Economic, Religion, Social, Religion, Feminism Enthusiast | Research | Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Masculinity dalam Pernikahan

28 Maret 2024   10:00 Diperbarui: 29 Maret 2024   22:02 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara normatif, perempuan diuntungkan atas sebuah pernikahan. Dimana laki-laki harus lebih dulu memprioritaskan perempuan sebagai istrinya, harus menjaga keamanan, menjaga kesehatan fisik dan mentalnya, mengarahkan dan mengayomi. Secara hukum, laki-laki juga bertanggung jawab atas segala kebutuhan hidup perempuan. Yang saya tahu, bahwa perempuan sangat dimuliakan.

Berangkat dari pemahaman tersebut, makna pernikahan menjadi lebih sempit, membatasi peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Dari kacamata feminis, pernikahan bukan lagi pendudukan laki-laki atas perempuan. Konsep kesetaraan memberikan ruang untuk pasangan saling bekerja sama dan berbagi tanggung jawab.

Secara fakta, memang ada tugas pokok dan peran inti antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Seperti melahirkan dan menyusui adalah murni tugas perempuan. Namun laki-laki juga mempunyai peran dan tanggungjawab dalam mendampingi selama proses melahirkan dan meng-ASIhi. Kemudian kebanyakan sepakat bahwa mencari nafkah merupakan peran utama suami, namun bukan berarti perempuan tidak memiliki hak untuk berkarir.

Di era modern ini, sudah banyak laki-laki yang sadar bahwa pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak merupakan tanggungjawab berdua, bukan lagi tugas penuh perempuan. Meskipun tidak semua. Masih banyak perempuan yang selalu mengeluh tentang piring kotor yang menumpuk, mengomel sepanjang hari hanya karena harus merendam gorden, atau banyaknya waktu yang dihabiskan membersihkan rumah padahal ia juga bekerja.

Dan di sisi lain, laki-laki dapat dengan mudah berpikir bahwa piring di wastafel bukan akhir dari dunia, dan pekerjaan merendam gorden tidak perlu direndam setiap minggu, sehingga menjadi acuh dan menganggap mengeluh menurutnya adalah respon yang sia-sia. Pada akhirnya, ketidakmampuan untuk bernegosiasi ketika terjadi perselisihan, termasuk dalam pekerjaan tentang rumah tangga dapat menjadi boomerang untuk keduanya.

Pernikahan adalah tentang kompromi. Setiap orang dalam sebuah pernikahan mengambil tanggungjawab untuk membuat sebuah pernikahan berhasil, bukan salah satu pihak saja. Bagaimana mungkin sebuah pernikahan bisa berhasil jika kedua pihak merasa tertindas dan tidak ada yang mengambil tanggungjawab. 

Di Luar itu, seringkali toxic masculinity dalam pernikahan menjadi sebuah ironi. Jika pernikahan itu tidak membawa kebahagiaan, maka itu adalah salah laki-laki. Yang tidak becus dalam mengurus dan menjaga rumah tangga. Tidak lebih bijak. Tidak bertanggungjawab atas kedewasaan secara umum. Dan tidak mengerti psikologi perempuan secara khusus.

Dalam seni bertahan hidup, saya meyakini kalau kebahagiaan itu adalah tanggungjawab diri sendiri, bukan pada orangtua, teman, ataupun pasangan. Jika kamu ada di titik menggantungkan kebahagiaan pada pasangan, maka harus siap untuk mangkel setiap harinya. Konsekuensinya, akan selalu peka terhadap 1% perubahan pada pasangan, dan dibuat merana karenanya.

Secara general, manusia memiliki batasan. Terlebih perasaan manusia, tidak selalu sama. Bisa berubah kapan saja. Kita harus memahami bahwa manusia tidaklah konstan. Pemikiran seperti ini menjadi kekuatan hidup yang membutuhkan fleksibilitas dan pemahaman.

Disisi lain, toxic masculinity juga membawa kita kepada prinsip bahwa laki-laki mempunyai beban dan tanggungjawab yang lebih besar dalam pernikahan. Laki-laki tidak hanya cukup memberi nafkah, namun juga melakukan tugas-tugas yang diperintahkan, dan harus matang secara emosional. Harus sadar akan ketidakadilan gender, mendengarkan dan membela perempuan, peka terhadap perasaannya dan mendukung keputusannya sesuai keinginannya.

Kebanyakan motivator pernikahan mengatakan bahwa nyawa dalam pernikahan ada pada tiga hal, yakni seks, komunikasi dan keuangan. Menurut saya tidak, nyawa pernikahan ada pada personal, pada ego masing-masing. Menurut pandangan saya, persoalan sekelumit seperti sexless marriage, silent treatment, manajemen finansial yang  buruk, ikut campurnya sang mertua dan ipar, parenting yang tidak kompak hingga minimnya waktu bersama merupakan masalah-masalah yang  masih dalam jangkauan toleransi manusia. Namun ketika ego bermain setiap saat, maka pernikahan bisa berakhir saat itu juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun