Akhirnya menulis kembali. Bermula dari menghadiri pertemuan zero waste community, yang di ujung pertemuannya mengajak setiap orang untuk membuat sebuah komitmen. Bebas apapun. Yang penting komitmen itu bisa dilakukan dalam waktu sekitar sebulan dan tentunya berhubungan dengan gaya hidup zero waste (kan memang judul pertemuannya itu).
Nah, pada hari tersebut, saya membuat 1 komitmen untuk kembali menulis pengalaman berzero waste. Selain untuk dokumentasi pribadi, tujuan yang terpenting dari penulisan pengalaman tersebut adalah supaya memungkinkan juga orang untuk membacanya dan syukur-syukur bisa mendapatkan inspirasi dari tulisan tersebut. Lebih jauhnya, orang yang membaca tersebut mau mulai menerapkannya.
Oya, yang unik dari pelaksanaan komitmen tersebut, kita diminta untuk memilih 1 orang yang sama-sama peserta pelatihan sebagai pengingat. Pengingat sama-sama “bertanggung jawab” atas terlaksananya komitmen kita. Begitupun sebaliknya. Teman pengingat saya adalah Taruna. Awalnya saya tidak punya teman pengingat karena jumlah orang yang ada di pertemuan tersebut ganjil. Taruna baru datang setelah acara berakhir. Ya sudah, saya todong saja supaya dia memikirkan 1 komitmen. Dia akan membuat 4 buah buku notes dari kertas-kertas bekas yang dia miliki. 4 buah setiap hari. Sekarang, setelah 4 hari berlalu, malahan saya lupa belum tanya, apakah dia sudah mulai melakukan komitmennya atau belum.
Wah, panjang juga kata pengantar dalam tulisan ini. Asalnya saya mau cerita tentang ide menarik yang saya baru dengar dari Izo tadi siang. Izo adalah tim penulis buku tahunan YPBB (tempat saya kerja). Tadi siang kebetulan dia ke kantor karena ada acara koordinasi.
Setelah kegiatan hari ini berakhir, kita ngobrol-ngobrol tentang perilaku yang zero waste. Muter-muter kemana-mana dan akhirnya sampailah pada cerita dia tentang bagaimana mengajak anak-anak kecil untuk berzero waste. Kalau ke orang dewasa, yang biasa dilakukan adalah memberikan informasi tentang keuntungan dan kerugian akan sebuah tindakan. Misalnya pada penggunaan kresek. Memang menggunakan kresek itu membuat kita nyaman. Tidak usah repot-repot membawa tas belanja atau keranjang belanja dari rumah. Langsung tinggal menerimanya dalam keadaan telah terbungkus keresek. Tapi dengan diinformasikan keuntungan dan kerugiannya (khususnya dampak negatifnya terhadap lingkungan), maka setiap orang sebenarnya memiliki pilihan bebas. Mau gampang dan praktis, tapi menghasilkan dampak negative bagi lingkungan. Atau, pada awalnya agak repot mulai mengurangi penggunaan kresek karena perlu mengubah kebiasaan, tapi kita mulai mengurangi dampak negative pada lingkungan.
[caption id="attachment_110710" align="alignnone" width="300" caption="mungkin ini beberapa contoh snack yang dimaksud"][/caption]
Nah bila ke anak-anak, model yang sama rasanya sulit diterapkan. Mereka sangat-sangat tertarik dengan kemasan makanan ringan. Kalau orang dewasa sih, bisa ditanya, “Apa sih sebenarnya yang diinginkan? Apakah kemasannya atau isinya.” Kalau memang isinya yang diinginkan, kita bisa pilih cara lain dalam memperolehnya. MIsalnya membeli snack di tukang kue kiloan menggunakan misting (kotak bekal yang dari plastic).
Kalau ke anak-anak, awalnya Izo mencoba untuk melakukan cara yang sama. Dia membelikan snack kiloan. Rasanya boleh diadu dengan snack yang dalam kemasan. Tapi tetap saja keponakan-keponakannya itu tidak mau. Alasannya sih karena tidak nyaman. Tidak bisa dikantongin dan sambil dibawa-bawa main. Akhirnya dia mencari jalan lain. Dia mulai memasukkan snack tersebut ke dalam misting yang bersekat. Wah, anak-anak itu tetap tidak mau. Misting kan pasti tidak bisa dibawa-bawa ketika bermain. Terlalu repot. Nah, trik yang terakhir ini ternyata mantap. Dia mencoba mencari kotak makanan yang kecil-kecil dan warna-warni. Dicari-cari di toko biasa, tidak ditemukan wadah yang dimaksud tersebut. Akhirnya ditemukan di Ace Hardware. Harganya tidak terlalu mahal. Jatuhnya 1 kotak, harganya sekitar 2000 rupiah. Murah juga sebenarnya. Langkah terakhir itu cukup ampuh untuk mulai mengurangi sampah yang dihasilkan dari snack keponakan-keponakan Izo. Karena bentuknya kecil-kecil, anak-anak itupun mau bekal ke sekolah. Cukup masukkan kotak-kotak berisi snack ke dalam tas. Toh, tidak menghabiskan banyak tempat juga.
[caption id="attachment_110712" align="alignnone" width="300" caption="mungkin contoh kotak warna-warninya seperti ini :)"][/caption]
Tapi kalau bicara jenis makanan/minuman lainnya, waaaaah masih banyak yang belum ketemu solusinya. Misalnya saja milkuat. Itu loh, minuman susu cair yang wadahnya imut. Miris banget. Hanya digunakan dalam waktu kurang dari 5 menit. Padahal, kalau kita tahu sulitnya mengambil minyak bumi yang jumlahnya makin terbatas itu, proses pembuatan plastic di pabrik, yang katanya pasti akan menghasilkan banyak limbah berbahaya, belum lagi ketika dia telah selesai digunakan, biasanya kan dibuang. Anda bisa saja bilang, tapi kan itu bisa didaur ulang. Fakta penting pertama, cukup banyak kemasan minuman yang akhirnya tidak didaur ulang. Fakta kedua, kalaupun akhirnya didaur ulang, proses daur ulang itu tidak sepenuhnya “hijau” alias aman untuk lingkungan. Kalau kita berpikir sejauh itu maka terasa sekali bahwa sangat “mahal” harga yang harus dibayar ke alam. Hanya untuk waktu yang kurang dari 5 menit loh. Wah, masih banyak deh, PR untuk mencari solusi dari masing-masing kemasan jajanan anak-anak.
Dari cerita Izo tersebut, saya teringat pada pengalaman sendiri. Beberapa tahun yang lalu, adik nenek saya, setiap belanja bulanan, selalu ingin memberikan oleh-oleh untuk cucu-cucunya. BIasanya berupa chiki-chikian atau snack-snack lainnya dalam kemasan kecil. Saya yang biasa mengantar beliau, akhirnya berusaha untuk mengurangi dampak dari proses oleh-oleh tersebut. Saya menyarankan untuk memilih produk dalam kemasan besar. Masih plastic yang sekali pakai sih. Tapi paling tidak, jumlah sampah yang dihasilkan lebih sedikit. Kemudian ketika sampai di rumah, saya mengambil misting. Bukan yang kecil seperti yang dibeli Izo tapi misting standar seadanya di rumah. Jadi setiap orang mendapatkan 1 paket kotak oleh-oleh. Di dalamnya ada 2-3 jenis makanan. Tapi ini tidak berlangsung lama. Saya agak lupa penyebabnya apa. Kalau sekarang sih, saya sudah tidak bertugas lagi untuk mengantar belanja dan juga sepupu-sepupu saya sudah besar-besar. Sepertinya tidak perlu diberi oleh-oleh lagi seperti dulu J
Hmm, begitulah tulisan perdana saya setelah lama off dari dunia tulis-menulis. Semoga ada suatu inspirasi yang diperoleh. Alangkah senangnya kalau anda juga mau berbagi pengalaman dalam mengurangi sampah pada snack anak-anak :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H