Ketika negara ini berbicara tentang kebhinekaan, kita harus yakin bahwa sudah banyak orang Indonesia yang tahu. Meskipun demikan, secara pribadi belum ada keyakinan sepenuhnya kalau semua orang-orang Indonesia sudah paham akan itu. Bukan bermaksud pesimis akan kedewasaan bangsa Indonesia, tetapi kita tahu sendiri masih banyak orang Indonesia yang merasa paling berhak memiliki Indonesia, tanpa memperdulikan saudaranya. Padahal kita semua sama, kita adalah bangsa Indonesia. Kita terlahir dari orang Indonesia, tumbuh di Indonesia, makan dan minum dari tanah dan air Indonesia. Meskipun demikian, cobalah hitung berapa banyak orang yang merasa paling Indonesia.
Bukan hanya sekali, dua, atau tiga kali saya bertemu dengan orang yang tak juga paham tentang kebhinekaan Indonesia, tetapi merasa paling tahu tentang Indonesia.
Saya adalah manusia kemarin sore yang selalu mencoba untuk memahami teka-teki yang telah Tuhan ciptakan. Iya, teka-teki itu adalah Indonesia. Untuk apa sebenarnya Tuhan menciptakan berbagai macam perbedaan? pertanyaan itulah yang selalu muncul ketika beberapa gerombol manusia yang merasa paling memiliki Indonesia muncul kepermukaan.
Lalu siapa yang berhak menentukan kadar keindonesiaan seseorang? Apakah atas dasar keturunan seseorang bisa dinilai kalau ia adalah manusia yang paling Indonesia? Apakah atas dasar pendahulu golongan mereka yang berjuang untuk kemerdekaanlah yang bisa menjamin bahwa mereka adalah manusia yang paling Indonesia?
Atas dasar kewarasanlah kita bisa menjawab, jika pernyataan diatas tak ada jaminannya, tak ada kebenaran sepenuhnya. Bukan berarti meragukan semua itu, bukan. Hanya ingin mengingatkan bahwa diantara kita tidak ada yang kadar keindonesiaannya kurang atau lebih, hanya karena ditentukan dengan indikator itu.
Merasa paling Indonesia sama dengan merasa paling benar. Itulah yang selalu menjadi biang kerok atas perseteruan, menggoreng keadaan. Jika seseorang merasa paling benar, maka ia akan merasa paling Indonesia.
Tak jarang ada orang yang merasa bahwa golongannyalah yang paling benar. Begitu percaya dirinya merasa bahwa golongan mereka akan masuk surga, yang lainnya jaminannya adalah neraka. Menyebalkan memang, tetapi tak perlu diragukan lagi jika keberadaan mereka pasti bergentayangan dimana-mana dan siap meracuni siapa saja. Sejak kapan perkara seseorang masuk surga atau neraka berada ditangan mereka?
Sedikit cerita, disebuah obrolan antara saya dan beberapa teman, kita semua membicarakan tentang Indonesia, membicarakan tentang masa depan Indonesia, membicarakan tentang sejarah Indonesia. Ada jiwa yang menggebu-gebu ketika seorang anak muda membicarakan negaranya. Kemudian selera dan jiwa yang menggebu-gebu itu pudar begitu saja ketika salah satu teman mengatakan,”Kita tahu bahwa, ormas A sudah terbukti sangat berjasa untuk negara ini. Tetapi kenapa masih banyak orang yang merasa alergi untuk mengikuti ajarannya? Apakah karena diajarannya tidak ada selamatan, kenduren, dan sejenisnya? Apakah karena takut tidak mendapat nasi berkat?." Seharusnya teman saya itu tak berucap demikian, sangat disayangkan.
Kartini pernah mengatakan bahwa, “seorang gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” Bisa jadi saya adalah gadis itu, atau gadis-gadis diluar sana juga golongan gadis yang dimaksudkan oleh Kartini. Dan memang, dizaman yang modern ini tak mudah menerima sesuatu yang tidak masuk akal atau mitos nenek moyang yang sulit dicerna. Tetapi kita adalah manusia baru, manusia yang tak tau apa-apa, tak seharusnya merasa paling pintar dan merasa paling tahu. Secara pribadi, saya juga merasa kesulitan untuk menerima sesuatu yang tak ada dasarnya, tetapi saya adalah manusia baru yang harus belajar menerima dan mencerna tanpa memberikan pembenaran dengan menyakiti pihak lain.
Bukan hanya sekedar perkara surga dan neraka, tetapi mereka merasa memiliki kuasa. Bahwa golongan merekalah yang pantas menguasai Indonesia.
Racun-racun itulah yang secara sengaja atau tidak, telah berusaha untuk mematikan Indonesia. Padahal Indonesia adalah milik kita semua, bukan hanya milik segerombol manusia.
Meskipun begitu banyak racun yang telah merasuki tubuh anak bangsa, kita harus yakin bahwa masih begitu banyak anak bangsa yang berusaha untuk menetralisir racun itu, berusaha untuk keluar dari lingkaran setan. Merasa bosan dengan permasalahan kekanak-kanakan yang diderita oleh bangsa yang seharusnya sudah dewasa. Ketika negara lain sudah menciptakan teknologi dan keilmuan, negara kita masih berseteru akan kebhinekaan. Tuhan menciptakan perbedaan tentu bukan untuk saling berseteru, bukan? Teka-teki itu sudah terjawab, tetapi masih banyak yang tak paham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H