Peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) merupakan salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh beberapa perwira militer dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), enam jenderal TNI Angkatan Darat tewas dibunuh. Namun, di tengah keganasan malam itu, muncul pertanyaan mengapa Soeharto, yang pada saat itu berpangkat Mayor Jenderal dan menjadi salah satu perwira penting di militer Indonesia, tidak menjadi sasaran penculikan atau pembunuhan oleh kelompok G30S/PKI?
Pada saat G30S terjadi, Soeharto memang sudah memiliki posisi penting dalam struktur militer, namun ia belum menempati jabatan tertinggi. Target utama dari kudeta ini adalah para jenderal yang memiliki kendali langsung atas Angkatan Darat, terutama mereka yang dianggap menjadi penghalang utama ambisi politik kelompok tersebut. Para jenderal seperti Ahmad Yani, yang merupakan Panglima Angkatan Darat, dianggap sebagai ancaman langsung bagi kudeta tersebut, sementara posisi Soeharto dianggap tidak sepenting itu saat itu.
Pada malam terjadinya kudeta, Soeharto tidak berada di rumah dinasnya yang biasanya terletak di kawasan Jalan Haji Agus Salim, Jakarta. Ia sedang berada di rumah sakit untuk mengunjungi anaknya yang sedang sakit. Keberadaan Soeharto yang tidak diketahui secara jelas pada malam tersebut kemungkinan membuat kelompok G30S/PKI kesulitan melacak atau menargetkannya.
Soeharto, pada saat itu, tidak berada di lingkaran dekat para jenderal yang dianggap anti-PKI. Para jenderal yang menjadi target utama penculikan dianggap sebagai tokoh-tokoh yang secara langsung menghalangi rencana PKI atau yang memiliki kekuasaan besar dalam militer. Soeharto mungkin dianggap sebagai sosok yang kurang berpengaruh dalam konteks rencana besar G30S, sehingga tidak dimasukkan dalam daftar target.
Soeharto diketahui sebagai sosok yang cerdik dalam membaca situasi politik dan militer. Beberapa analisis menyebutkan bahwa Soeharto mungkin telah mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi ancaman dari berbagai pihak, termasuk PKI. Meskipun tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim ini, ada spekulasi bahwa Soeharto mungkin telah mengambil langkah-langkah pengamanan untuk melindungi dirinya.
Faktor keberuntungan juga tidak dapat diabaikan. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti kudeta, ada banyak variabel yang tidak bisa diprediksi. Soeharto mungkin saja "beruntung" karena pada malam kudeta itu, ia tidak berada di tempat yang mudah diakses oleh kelompok penculik, atau kelompok G30S/PKI menganggap bahwa waktu mereka tidak cukup untuk menjangkau Soeharto.
Tidak adanya Soeharto dalam daftar target utama G30S/PKI membuka peluang baginya untuk memainkan peran penting dalam menumpas gerakan tersebut. Dalam beberapa hari setelah kudeta, Soeharto mengambil kendali Angkatan Darat dan menjadi tokoh kunci dalam menumpas pemberontakan serta menghancurkan PKI. Peristiwa ini kemudian menjadi pijakan bagi Soeharto untuk memperkuat posisinya di militer dan politik Indonesia, yang pada akhirnya membawanya menjadi presiden selama lebih dari tiga dekade.
Faktor-faktor strategis, keberuntungan, dan penilaian yang keliru dari kelompok G30S/PKI tampaknya berperan dalam mengapa Soeharto tidak menjadi target penculikan dan pembunuhan. Peristiwa ini membentuk sejarah Indonesia di kemudian hari, khususnya dalam kaitannya dengan kebangkitan kekuasaan Soeharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H