Di sini,
di sudut ruang persegi 15 kaki,
kuhabiskan waktu, menunggu,
menunggu semangat yang selalu bertalu,
irama denyut nadi, terus menderu,
haus rinduku, penuh harap menunggu.
Di sini,
tempat yang mungkin kau lupakan,
canda tawa kita masih terngiang,
suara kita bergema, melawan sunyi,
pendar tatapanmu, lembut menyublim kalbu,
pipimu tirus, menghujam palung jiwa,
seperti bayangan yang tak kunjung pudar,
setiap detik terasa membeku dalam hening.
Kini,
di sini jadi tempat duka laraku,
pelarian dari segala lukaku,
tempat ku menunggu amsal yang tak pasti kutahu,
tempat berbeda gundahku, memikirkanmu,
ruang yang sunyi, menampung rasa ini,
harapan yang samar, merindu dalam sepi.
Setiap sudutnya,
seolah menyimpan jejak langkahmu,
bau harum kenangan, masih terpatri di dinding,
terdengar samar lagu yang pernah kita nyanyikan,
melodi itu, kini menyayat jiwa,
seperti angin berbisik, memanggil namamu.
Di luar sana,
dunia berputar, dan waktu terus melangkah,
tapi di sini, aku terjebak,
dalam hening yang tak kunjung sirna,
merindukan senyummu,
menanti kehadiran yang tak pasti.
Setiap detik berlalu,
adalah mantra pengharapan,
akan sinar yang mungkin kembali menyinari,
akan suara yang mungkin mengisi ruang hampa,
tapi di sini,
semua terasa seperti ilusi,
hanya bayang-bayang yang menari,
dalam gelapnya rindu yang tak terpuaskan.
Di sini,
aku berjanji,
akan terus menunggu,
meski tak ada jaminan,
meski harapan ini sering terguncang,
karena di sudut ruang ini,
aku temukan sisa-sisa cinta yang abadi,
sebuah kisah yang takkan pernah terlupakan,
selamanya terukir di dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H