Mohon tunggu...
Anik Anik
Anik Anik Mohon Tunggu... Administrasi - Literacy

Belajar pada KITABULLAH dan AS SUNNAH adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanggapan atas 'Surat Rasulullah kepada Umat Kristen di Mesir'

23 Agustus 2013   11:35 Diperbarui: 19 September 2015   13:30 9276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diulas lebih lanjut, pernyataan “Aku akan menentang apapun yang tidak menyenangkan mereka”, juga bertentangan dengan ajaran Rasullallah SAW yang bersumber pada Hadist-Hadist yang shoheh. Coba dibandingkan dengan Surat Perjanjian beliau dengan kaum Nasrani di Najran (Najran adalah bagian dari wilayah Yaman) (HR Abu Dawud, 8/279/2644):
Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah SAW telah mendamai penduduk Najran dengan persyaratan: 1), Mereka menyetorkan 2.000 chullah, pada Muslimiin, yang setengah diberikan pada bulan Sapar, sisanya pada bulan Rajab. 2), Mereka meminjami 30 baju perang 30 kuda, 30 unta, 30 macam peralatan perang, untuk berperang. Peminjaman ini berlaku jika ada serangan atau pengkhianatan di Yaman, dan harus dikembalikan lagi. 3), Gereja tidak boleh dirobohkan dan alim Nashrani tidak boleh diusir dari Gereja. 4), Selama mereka tidak membuat pembaharuan atau tidak makan riba, agama mereka tidak boleh dirusak.”

Dalam Surat Perjanjian dengan Nasrani Najran yang dibukukan di dalam HR Abu Dawud tersebut, isi perjanjian tersebut balance/seimbang, yaitu: (1) Disatu sisi perjanjian menunjukkan jaminan Rasul SAW dan umat muslim kepada mereka, tetapi (2) disisi lain juga ada ketetapan yang harus mereka patuhi yaitu pada butir ke 4: “Selama mereka tidak membuat pembaharuan atau tidak makan riba, agama mereka tidak boleh dirusak”. Dalam keterangan Hadist tersebut (yang telah dijelaskan ulama yang ahli dalam bidang Hadist dan Sejarah, serta Tafsir) yang dimaksud dengan “tidak membuat pembaharuan” adalah mereka tidak merubah isi perjanjian tersebut, atau syarat yang kedua “tidak makan riba” disinilah menunjukkan betapa Rasullullah SAW konsisten menegakkan hukum Allah ditengah-tengah mengalahnya kaum Muslim kepada mereka, jaminan yang dibuat Rasullullah SAW adalah disertai dengan sandaran batasan yang mengacu pada hukum Allah. Dalam hal ini batasan itu mengenai persoalan riba, hukum yang sebenarnya sudah ditetapkan pada umat sebelumnya sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasullullah SAW di dalam Surah An-Nisa, 161: “dan disebabkan mereka (Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil”. Dalam perjalanan sejarah, mereka terbukti melanggar perjanjian tersebut, mereka makan riba.

Di dalam Surah Ali Imran, 64, diatas, di kalimat terakhir  “….Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, tidak memaksakan seorang manusia untuk menjadi Islam dan beriman. Maka jelas tampak bahwa dari cara-cara Rasullullah SAW berhubungan dengan umat lain Rasullullah SAW selalu menyampaikan sesuai dengan Risalah Kenabiannya. Beliau jelas menyampaikan kebenaran Tuhannya (Al A’Raaf 68), sepahit apapun tugas ke-rasul-an beliau (karena ditentang umat manusia yang tidak mau beriman), beliau tidak mungkin membuat surat untuk mengikuti hawa nafsu manusia semata sebagaimana tercermin dalam surat PALSU tersebut yaitu Aku akan menentang apapun yang tidak menyenangkan mereka”; “Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci”; “Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir”.

Jaminan apa seperti dalam surat palsu itu, padahal mereka adalah orang-orang yang menentang ketauhidan Allah, menentang tentang kejadian Isa Al Masih sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Ali Imran 59-60??! Tidak masuk akal bukan?

Selain itu dalam catatan sejarah, pada jamannya Nabi Muhammad SAW masih hidup beliau hanya menguasai Mekah dan Madinah. Pada saat itu Mesir masih dikuasai Romawi. Dari sumber sejarah catatan Panglima Khalid bin Walid, Pasukan Romawi pertama dapat ditaklukkan Pasukan Muslim adalah di Baitul Maqdis oleh Khalifah Umar bin Khatab.

Mesir baru ditaklukkan umat muslim oleh Bani Umayah bisa dilihat di http://id.wikibooks.org/wiki/Mesir_Kuno/Sejarah. Informasi ini saya cross-check dengan catatan sejarah Islam Dari Professor Buya Hamka. Pada buku beliau Sedjarah Umat Islam II, halaman 55, informasinya selaras dengan link di atas, yaitu Mesir baru ditaklukkan oleh umat Islam pada jamannya Bani Umayah, tepatnya oleh kekhalifahan Marwan ibn Hakam, yaitu pada tahun 63 Hijriah, 684 Masehi. Nabi MUhammad SAW meninggal pada tahun 11 Hijriah. Maka isi surat tersebut jelas bohongnya, tidak mungkin pada wilayah Mesir yang tidak beliau kuasai Nabi SAW menyebut umat Kristen di St. Catherine’s Monastery sebagai “juga rakyatku”. Yang jelas surat-surat beliau kepada raja-raja di sekitar jazirah Arab termasuk ke Mesir menunjukkan bahwa yang “diketuk hatinya” terlebih dahulu untuk bertauhid adalah para pemimpinnya.

Semestinya patut kita pertanyakan tujuan kaum yang memalsukan surat tersebut. Jika yakin dengan hukum Allah, tentu tidak perlu membuat berita memalsukan seperti itu, tentu tidak akan membawa manfaat seperti disampaikan dalam Al Qur’an “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (Al Baqoroh, 9). Kebenaran itu milik Allah, Allah-lah sebaik-baiknya penjaga.

NOTES:

Yang menjadi salah satu rujukan utama surat PALSU tersebut ada di http://en.wikipedia.org/wiki/Achtiname_of_Muhammad. Yang perlu diperhatikan adalah rujukannya. Bagi mereka yang terbiasa membaca journal ilmiah, akan mengenali bahwa rujukan dicantumkan apabila rujukan tersebut dipakai untuk merujuk dengan menunjukkan informasi mana saja yang dikaitkan dengan rujukan. Pada link diatas rujukan yang dipakai hanya ini:

1. a b c d e f g Ratliff, “The monastery of Saint Catherine at Mount Sinai and the Christian communities of the Caliphate.”
2. http://www.sinaimonastery.com/en/index.php?lid=6
3. Lafontaine-Dosogne, “Le Monastère du Sinaï: creuset de culture chrétiene (Xe-XIIIe siècle)”, p. 105.
4. Atiya, “The Monastery of St. Catherine and the Mount Sinai Expedition”. p. 578.
5. Ratliff, “The monastery of Saint Catherine at Mount Sinai and the Christian communities of the Caliphate”, note 9. Ratliff refers to Mouton, “Les musulmans à Sainte-Catherine au Moyen Âge”, p. 177.
6. Khan, Muqtedar (December 30, 2009), “Muhammad’s promise to Christians”, Washington Post, retrieved 1 December 2012
7. Covenantsoftheprophet.com

Bagi yang ingin mengecek kualitas rujukan tersebut, coba saja buka rujukan no 2, misalnya, pada link itu hanya terdapat informasi satu paragraph!! Pada rujukan no 4 misalnya, itupun hanya di bagian paragraph terakhir, yg membicarakan sejarah tentang perjanjian itu, satu paragraph juga!! Katanya perjanjian itu dibawa oleh Sultan Selim I? Ya apa bisa dipercaya penulis sejarahnya saja Aziz S Attiya juga tidak menegaskan keasliannya!! Dia mengatakan: “..the Covenant of the Prophet, whether authentic or forged, was in someway or other renewed.” No 7 juga gambar!!No 6 dari cuplikan dari Washington Post!!! Si Ratliff di rujukan no 1 dan 5 gak ditulis nama lengkapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun