Akan adil setelah menganalisis sejarah , otoritas dapat mengusulkan renegosiasi perjanjian, bukan sebagai instrumen menghindari  penghindaran pajak melainkan sebagai tujuan dari pajak yang adil. Pemerintah melalui DJP sebenarnya sudah mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan P3B. adanya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sttd PER-25/PJ/2010. Dan peraturan tersebut kemudian diperbaharui dengan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ada beberapa contoh upaya penyalahgunaan P3B, di antaranya, transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B
Adapun contoh lainnya yaitu adanya transaksi dengan struktur/skema yang menggunakan format hukum (legal form) bertolak belakang substansi ekonomisnya (economic substance) hal ini dengan tujuan untuk memperoleh manfaat P3B. Dan bisa juga atas penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas penerima manfaat dari suatu transaksi (beneficial owner).
Dalam menentukan apakah perorangan atau entitas luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia (WPLN) itu adalah benar sebagai beneficial owner atau bukan, dalam PER-10/PJ/2017 disebutkan kriteria sebagai berikut:
- Untuk WPLN orang pribadi, Bukan merupakan Agen atau Nominee; atau
- Untuk WPLN badan, Bukan sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, dan juga harus memenuhi ketentuan
- memiliki kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
- tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
- dapat menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki
- tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia ke pihak lain
Renegosiasi P3B adalah fungsi birokrasi. Hal ini sangat mungkin dilakukan degan mereview kembali suatu perjanjian, karena sangat sulit mendapatkan bukti untuk membenarkan ruang lingkup treaty shopping yang disengaja, bagaimanapun, secara metaforis mungkin untuk menjelaskan mengapa Negara-negara Penandatangan tidak melakukan pembaruan perjanjian P3B selama bertahun-tahun.
Klaus Vogel (1991) menjelaskan treaty shopping sebagai: Transaksi diselesaikan atau entitas didirikan di Negara pihak pada Persetujuan oleh penduduk non-Penandatangan Negara untuk tujuan tunggal menerima manfaat perjanjian dari perjanjian pajak (Vogel, 1991, hlm. 62).
Penyalahgunaan perjanjian dan treaty Shopping  adalah dua konsep yang terpisah. Seperti dalam transaksi belanja, pembeli mencari perjanjian yang paling menguntungkan, tidak harus melibatkan pelanggaran hukum atau ketentuan perjanjian, namun, dan proses nya membutuhkan verifikasi dari transaksi yang bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian pajak
ReferensiÂ
- Duff, David G. and Duff, David G., Responses to Tax Treaty Shopping: A Comparative Evaluation (June 30, 2010). Available at SSRN: Â http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1688689
- Gaurav Shukla, Suesh Kumar Pandey, Shiu Lingam2 , Tax Effects of Treaty Shopping and OECD’s BEPS Implications , International Business Reprints and permissions: in.sagepub.com/journals-permissions-india DOI: 10.1177/2319714520907245
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda