Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merindu Umroh yang Menakutkan

3 September 2022   04:58 Diperbarui: 3 September 2022   08:11 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau umroh aja ribet, itu kan cuma pergi ke Mekkah beberapa hari terus pulang lagi. Ngapain juga lebay. Yang persiapan lah, yang fokus umroh lah. Biasa aja lagee, pergi gitu doang. Gowsah nyari-nyari alesan cuma gegara mo Umroh.

Begitu kira-kira terjemahan ungkapan kawan  yang suntuk melihat kehebohan saya cuma gegara mo umroh.

Saya memang heboh, tiap diajak hang out jauh, selalu nolak. Alesannya sedang ngumpulin tenaga dan pikiran buat Umroh. Begitupula kalau diajak kegiatan seru-seruan, selalu gitu alesannya. Nggak ah, mo umroh. Nabung buat yang di rumah.

Ya gimana lagi, bagi saya tu umroh memang emejing. Dibilang norak ya norak memang, sampai mampu membuat schedule kebiasaan porak poranda. Semua demi persiapan umroh.

Hampir seumur hidup saya menantikan hal ini. Merindukan Makkah dan Madinah, berbekal kisah dalam ayat Qur an, ingin mencium dua tanah yang pernah ditinggali kekasih Tuhan, Muhammad sholallohu alaihi wa salam.

Tak ada keinginan pergi dari rumah ke tempat jauh selain hanya menuju dua tempat itu. Tempat yang kata orang pembalasan pertama atas kelakuan hidup di dunia. Tempat dengan kisah-kisah menakjubkan tak masuk akal, buah menuai tanam amal selama bernafas sebelum pergi ke tanah suci, Makkah Madinah.

Ketakukan pertama saya mestinya, dosa saya seperti buih di lautan, takut dibalas tentu saja tetapi nekat menyengat mengingat keutamaan yang menyertai ibadah Umroh.

 Saya bukan orang suci meski ingin jadi demikian, tergoda berbuat dosa seringkali menimpa. Menekuri itu semua tak layak mestinya saya bebas dera akan tetapi tak sanggup pula jika harus dihukum karenanya, maka Rahmat Allah, Ampunan Allah sungguh saya harap menyertai perjalanan Umroh ini.

Sebuah nasehat Kakak Mahmud, pengawas Madrasah di lingkungan Kemenag Kab Pasuruan, penulis buku Menggapai Haji Mabrur menguatkan hati. Meyakinkan langkah kaki, berangkat menuju tanah suci. Bismillah, Rahmat Allah lebih besar dari dosa yang telah saya lakukan.

Ketakutan kedua lainnya adalah berkaitan dengan kondisi keuangan. Umroh merupa  keinginan yang kalau menengok kemampuan finansial saya jauh dari kemungkinan. Hanya seorang guru swasta dengan gaji mengandalkan TPP Sertifikasi, kadang cair kadang lambat. Lalu sore hari mengajar ngaji anak tetangga.

Memiliki profesi sampingan sebagai penjual susu kedelai keliling dan gorengan berlaba 200 perak tiap bungkusnya. Jangankan pergi umroh, ziarah ke makam-makam wali saja harus menabung setengah mati baru kesampaian.

Berangkat Umroh bukan hanya tentang biaya perjalanan, namun ada sebuah hal yang membuat tercekat. Tradisi selamatan dan bawa oleh-oleh. Ini yang membuat saya gamang, apa yang harus saya lakukan agar tuntutan itu bisa terpenuhi?

Sebetulnya kalau mau hitung-hitung kalkulasi pendapatan memungkinkan sih. Itu kalau saya hidup sendiri, tak menghidupi emak mertua dan 2 anak yang sedang menuntut ilmu. Bisa makan tiap hari dan ngirimi anak di pesantren, saya sudah sukur setengah mati. Mana berani mikir macam-macam apalagi sampai pergi ke tanah suci meski hanya umroh, bukan haji.

Akan tetapi kerinduan saya lebih besar dari 2 ketakutan yang telah tersebut di atas. Sehingga ketika sahabat Kompasianer Enik Rusmiyati ijin untuk menulis keadaan diri saya agar bisa umroh saya iyakan. Resikonya, bakal banyak orang tahu kisah susah hidup saya, direndahkan itu kemungkinan. Tapi ya biarkan cuma di mata manusia saja kok. Sekalian nyaring kawan, yang bener-bener mau sama saya siapa. Kan gak lucu saya ramah, dia ogah.

Umroh itu emejing, luar biasa bagi saya. Jadi, mendapat pengorbanan layak juga. Saya perjuangkan untuk sebuah kerinduan yang tak tertahankan.

Bu Enik menulis cerita kehidupan saya, sebagai guru swasta sekolah kecil, sebagai pedagang asongan, sebagai guru ngaji anak tetangga, bahkan sebagai penulis pinggiran dia tulis juga. Gak ada mewah-mewahnya, khas orang biasa yang berjuang hanya untuk bertahan hidup sambil melakukan sesuatu semampu dan semau saja.

Tulisan Bu Enik Tentang Anis Hidayatie di Kompasiana  

Akan dikompetisikan katanya, saya sih oke. Apapun waelah asal bisa umroh.  Saya manut, disuruh share ya share, kerabat, sanak, saudara saya mohon-mohon minta vote. Lha ini salah satu cara e. Yang didukung orang banyak, dia yang akan berangkat.

Bersyukur, kuasa Tuhan. Tangan-tangan baik bersedia memberi dukungan. Hati pemilik gawai atau laptop pada terbuka menyentuh nama saya. Dari ribuan peserta seluruh Indonesia saya masuk nominasi 50 besar, lalu diperas lagi. Bu Enik, guru MTsN 2 Blitar ini berjuang, sayapun. Puncaknya  ada di peringkat 5 dari 25 orang yang mendapat sponsor akan berangkat umroh.

Pingin peluk dan nangis ke badan bu Enik waktu diberitahu pengumuman. Teman luar biasa yang terhubung gegara tulisan. Satu platform kompasiana, satu komunitas di Komalku, Komunitas Menulis Buku Indonesia.

Maret 2020 saya mestinya berangkat, namun gagal karena pandemi. Lalu dijadwal lagi, sesudah Ramadhan, mundur lagi. Kini, jadwal sudah diberikan kepada saya. 6 September 2022 Insya Allah akan berangkat. Menjadi sebuah euforia yang bertalu-talu di dalam dada. Diberangkatkan Allianz difasilitasi Azkiya tour dari Jakarta.

" Allah Rabb, Tuhan Yang Menguasai seluru semesta, saya akan berangkat. Kali ini ijinkan mewujudkan mimpi. Mencium 2 tanah kekasih-Mu Muhammad sholallahu alaihi wa sallam, Makkah dan Madinah."

Demi pekik yang terus membahana itu saya mulai bersiap. Yang mencolok adalah pada aktifitas. Saya tahan betul agar tidak bermaksiat, meski kadang terjerumus juga, kesulitan menahan lisan,mata, hati, tangan dan kaki untuk tidak melanggar aturan. 

Saya berusaha tidak melangkah untuk waktu yang sia-sia. Menahan hati, menahan kaki, mengabaikan menyenangkan diri. Semua kesenangan dunia saya penjara sendiri. Fokus umroh,umroh. Introspeksi, evaluasi diri, berlatih jadi orang baik, lebih baik. Semoga demikian, setidaknya di mata Tuhan.

Umroh, ibadah luar biasa yang saya rindukan, biar orang lain berkata itu biasa bagi saya tetap istimewa. Sebuah perjuangan, sebuah ibadah yang sepertinya jauh dari bisa melakukan kini ada di hadapan. Maka mohon maklum kalau saya fokus meraihnya.

Berangkat, berangkat. Jangan tanya oleh-oleh jika saya pulang kelak. Karena fokus saya hanya bagaimana bisa berangkat, bagaimana bisa menghidupi orang-orang di rumah ketika saya tak ada. Saya kejar ini, bersusah payah banting tulang untuk emak dan buah hati. Agar mereka tak kesusahan ketika saya tinggal.

"Bu gak ada acara selamatan makan-makan kah di rumah sebelum berangkat?" tanya seorang kawan.

"Ada, selamatan di rumah. Pesertanya cuma emak dan semoga sulung pulang. Makan bareng sebelum berangkat, hehe. Doakan ada duit buat ninggalin mereka agar bisa makan selama saya tak ada," jawab saya pada lelaki baik di tempat kerja saya itu.

Entah bagaimana cara saya nanti ketika pulang, sebuah tradisi menakutkan dengan selamatan dan berbagi oleh-oleh. Saya pasrahkan saja pada Tuhan, bagaimana nanti mengatasi. Yang penting saya berangkat, ini tujuan, ini ibadah. Soal selebrasi nanti ketika datang saya pinggirkan, toh tidak ada kewajiban, paling hanya digunjing kalau tak seindah orang lain gelar selamatan dan bagi oleh-olehnya.

Hutang? Oh tidak. Ada yang menawari ini tapi saya tak ingin mengambil. Bercermin, tidak ada yang bisa saya agunkan bila  kelak tak mampu membayar. Saya tak ingin jungkir balik gegara mikir hutang. Biarlah seadanya asal tak ada hutang.

Apalagi, tidak disyariatkan ada acara gelaran itu. Hanya tradisi yang kalau saya tidak bisa memenuhi tidak ada hukuman. Meski sebetulnya dari lubuk hati ingin pula memuliakan tamu yang datang ketika pulang nanti. Membesarkan hati karena merasa tak mampu.

 Tuhan sandaran, saya pasrahkan urusan ini padaNya. Bagaimana menyambut orang-orang baik yang dalam bayangan akan datang itu biarlah diatur Tuhan. Mampu saya muliakan seperti tradisi berlaku, bilapun tak mampu tetap akan saya sambut. Setidaknya dengan senyum terindah dan doa kebaikan untuk handai taulan yang insya Allah akan datang.

Yang penting, saya akan berangkat, Maafkan bila selama mengenal saya ada salah perilaku atau bicara, mohon ikhlaskan agar ringan langkah ini di sana. Bismillah. Untuk Umroh yang saya rindukan, untuk Baitulloh saya akan datang.

Anis Hidayatie, Ngroto 3/8/2022. 

Terimakasih Bu Enik dan kawan-kawan pendukung. Mohon doa agar saya sehat, bisa menjalankan segala tuntuna, selamat hingga pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun