Sarapan pagi dengan telor dadar kutata rapi di atas meja makan yang juga berfungsi sebagai meja tamu. Kuketok pintu kamarnya.
"Sarapan sayang, telor dadarnya menantang."
"Iya bu segera keluar, masih pakai celana dalam ini."
Sudah gede masih kolokan, gitu dilaporkan. Senyumku memyungging mendapati jawaban deskriptifnya.
"Sama nasi goreng ya bu, pasti sedap ini."
"Iya, baunya saja sudah harum kan?"
"Bu.. aku tidak mencium bau apa-apa."
Gurat panik tergambar jelas di rona mukanya yang masih segar.
"Coba rasakan sayang."
Sesendok nasi goreng dengan potongan dadar kesukaan masuk mulut.
"Tidak bu, tidak ada rasa apa-apa. Hambar."
Deg, seketika dada ini berdentam hebat. Mungkinkah anakku terserang virus Covid itu? Kutenangkan diri agar ritual makan tak terganggu.
"Habiskan dulu saja makanmu, siapa tahu hidungmu pilek."
"Enggak bu, ini aku juga tak bisa merasakan asin dan pedas."
Setenang-tenangnya diri masih gusar pula kurasakan. Ada apa dengannya, virus itu bisa saja mengenainya secara tempat kerjanya nun jauh di luar kota.
Kuyakinkan diriku dulu merasa baik-baik saja. Lahap kuhabiskan nasi goreng buatanku sambil mengunyah lebih lama, menilai yang kurasakan.
Aku tanpa gejala. Lidah dan penciumanku berfungsi normal. Berarti yang tak beres jagoanku. Maka kuminta segera menelpon kantor.
"Sayang, kau minta ijinlah hari ini. Katakan gejala yang kau rasakan."
"Kalau positif bagaimana bu?"
"Tenanglah sayang, banyak yang sembuh bukan, Ibu akan lakukan yang terbaik buatmu."
Hari ini jagoanku di rumah. Aku belum tahu yang harus kulakukan. Koko, aku harus menghubunginya.
"Ko, sepertinya anakku kena covid ini, harus bagaimana aku ko?"
"Jangan panik. Sediakan segala kebutuhan asupan untuk pertahanan tubuhnya ya. Kau juga, jaga diri, pake masker. Rajin cuci tangan. Jangan kontak dengannya."
"Iya koko."
"Sayang , kau kurung diri di kamar ya. Isolasi mandiri dahulu, ibu pesankan kebutuhan asupan dahulu. Online saja, sebisa mungkin ibu juga tak kan keluar rumah. Ibu juga akan ijin atasan untuk tidak bekerja."
"Bu, aku takut."
"Kan ada ibu sayang."
Usai sarapan dia masuk kamar. Kubereskan peralatan makan. Kali ini mencucinya tidak hanya dengan sabun, melainkan  menyiram dengan air mendidih pula.
Humas kantor anakku menelepon, menayakan kabar jagoan. Kukatakan jujur keadaannya. Dia mengerti, berjanji pula akan memberi bantuan asupan. Booster penanganan covid. Dengan saran yang membuatku bimbang bukan kepalang.
" Lapor satgas covid bu, biar ada tindakan."
Saran itu wajar dan lumrah diberikan, tapi buatku ini mengerikan. Bayangan anakku dibawa, dikarantikana tak pernah kukehendaki.
Dengan perasaan hancur kusampaikan ini pada anakku.
"Sayang, ibu lapor satgas Covid ya."
"Ibu mau aku diculik?"
Ya Tuhan, deras air mata ini. Iya Jangan culik anakku.
Naif atau paranoid ini. Segera kuhubungi petugas yang kukenal, konfirmasi. Â Apa betul terkonfirmasi akan langsung diculik begitu saja?
Dengan telaten lelaki muda itu menjelaskan, tergantung kasusnya. Kalau tidak parah ya isolasi mandiri saja. Di rumah. Tapi kalau parah ya terpaksa diciduk agar mendapat penanganan lebih jauh.
Jagoanku terlihat bugar. Kau tak kan diculik nak. Yakinku pada diri sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H