Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ternyata, Aku Cuma Mau Dia

6 Februari 2021   05:35 Diperbarui: 6 Februari 2021   06:06 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Perjalanan kesendirianku membawa pada sebuah sikap yang aku ingin sekali lepas dari   hal ini. Berhubungan, menjalin kasih lagi dengan lelaki.

Godaan bertubi, sunyi membuatku merasa gembira kala ada lawan jenis mendekat, menyatakan cinta. Aw, masih ada yang suka ternyata meski usia sudah tua.

Pernikahan menjadi ujung menakutkan dari hubungan yang ditawarkan. Gayutan persoalan, mulai dari anak, hingga kekecewaan ibu menghantui. Aku tak ingin melukai mereka dengan sebuah hubungan baru, maka selalu kutolak ajakan membangun lagi rumah tangga itu.

Sedih dengan keadaan diri yang masih suka dirayu, digombali lelaki, kudatangi ahli. Psikolog yang punya keahlian Hypnotherapy. Aku ingin melupakan nama lelaki untuk kembali mantap hidup sendiri.

Kawan psikolog itu berbincang cukup lama untuk membangun kedekatan. Agar ada chemistry katanya, agar aku terbuka mencurahkan segala keluhan. Agar aku siap ketika diterapi pada alam bawah sadar.

Tidak ada yang istimewa dari perbincangan, aku extrovert, ringan saja bercerita keadaan atau apa saja yang kurasa dan kulakukan. Semua terbuka, karena aku memang tidak pandai menyembunyikan apa-apa.

Hingga dalam sebuah kondisi nyaman, aku melihat nyata sosok si bungsu dan ayahnya, suamiku. Sontak aliran bening dari mata ini makin deras. Tak terbendung.

Dia, belahan nyawa itu begitu nyata. Ada dengan sesosok wajah yang sangat kurindukan. Tanpa senyum. Potongan kenangan silih berganti datang, hingga harapan ingin melewati jembatan sirathal mustaqim berdua. Kelak bila nyawa sudah pula dipanggil yang punya.

Tidak ada rupa lain dalam imajinasiku. Hanya dia, namanya, sosok itu. Aku ingin dia. Ya Tuhan, aku betul-betul inginkan dia. Suamiku, ternyata aku hanya ingin kehadirannya dalam hidup ini.

Berkali-kali kukatakan dengan jelas diiringi air mata deras,

"Aku ingin dia."
"Aku mau dia."
"Aku hanya mau dia."

Sesi lain tidak berpanguruh apa-apa. Aku tidak bisa menjalankan aba-aba kawanku. Padahal aku ingin betul menjalani hipnotherapy seperti yang kerap kusaksikan pada kelas hypnosis. Tangan lengket, langan bisa kaku seperti kayu untuk kemudian menjadi taat pada pemberi perintah.

Aku tidak bisa itu. Entahlah, ada apa, meski sudah kutaati rangkaian stepnya. Hingga mataku terbuka, kembali menatap wajah Donni. Hypnotherapi muda dan tampan yang dari tadi menemaniku berbincang.

Masih terpaku pada sosok suami. Itu saja yang menancap di otak ini. Hingga pada sebuah simpulan, ternyata aku tidak ingin ada orang lain menjadi pendamping, selain suami. Aku cuma mau dia, hanya namanya. Di dunia maupun ketika aku sudah meregang nyawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun