Sesi lain tidak berpanguruh apa-apa. Aku tidak bisa menjalankan aba-aba kawanku. Padahal aku ingin betul menjalani hipnotherapy seperti yang kerap kusaksikan pada kelas hypnosis. Tangan lengket, langan bisa kaku seperti kayu untuk kemudian menjadi taat pada pemberi perintah.
Aku tidak bisa itu. Entahlah, ada apa, meski sudah kutaati rangkaian stepnya. Hingga mataku terbuka, kembali menatap wajah Donni. Hypnotherapi muda dan tampan yang dari tadi menemaniku berbincang.
Masih terpaku pada sosok suami. Itu saja yang menancap di otak ini. Hingga pada sebuah simpulan, ternyata aku tidak ingin ada orang lain menjadi pendamping, selain suami. Aku cuma mau dia, hanya namanya. Di dunia maupun ketika aku sudah meregang nyawa.