Padahal kau sudah banyak melakukan sesuatu untuknya, memberi tak ada hitungan pula. Akan tetapi balasan yang kau terima sungguh menyakitkan. Bukan terima kasih tapi makian. Untuk yang memperlakukanmu begini adakah tersirat sebiji benci di sudut hati?
Jam berdetak berputar mengantarku pada sebuah nama yang kini teramat mengerikan. Jangankan berbincang, Â melihat deret hurufnya saja trauma kelam memukul kenangan. Nama itu menakutkan, tak ingin lagi mengenalnya dalam kehidupan ini.
Kalau saja tidak ada aturan Tuhan yang melarang memutus tali silaturahmi, pasti sudah kublokir namanya. Kalau saja benci dendam boleh dilakukan pasti sudah kulakukan sesuatu yang bisa mencelakakan dia, membuatnya tersiksa karena pernah mempermalukanku, melukai perasaanku.
Akan tetapi sedikitpun aku tidak melakukan apa-apa. Bahkan hati ini kularang mengingatkan betapa dia pernah menorehkan kesakitan tak terperihkan. Butir-butir aturan Tuhan menjadi penjaga untuk aku tak menerobos pintu kebencian.
"Manusia tempatnya salah dan lupa."
Rupa-rupa kebaikanku padanya silih berganti muncul bak film dokumenter. Memberi uang atau barang, membuatkan sesuatu, melakukan ini itu lengkap dengan hari tanggal dan jam. Sepertinya tak ada satu hal buruk yang pernah kulakukan. Kami sudah akrab sehingga saling meminta tolong menjadi kebiasaan.
Tidak ada keberatan melakukan ini itu untuknya, hingga hari itu tiba. Aku titip barang padanya, rencana segera kuambil tapi keluargaku ada yang sakit sehingga harus menjaganya. Hingga seminggu baru bisa kuambil barang itu.
Maaf kuhaturkan, meminta barang itu dikirimkan via online. Ternyata itu membuatnya marah.
"Saya bukan pesuruhmu, silahkan diambil ke rumah. Atur waktu sampeyan baik-baik, biar tidak merepotkan dan mengecewakan orang lain."
Jarak ke rumahnya berbilang lebih 2 jam, kalau ke sana harus meninggalkan si sakit. Namun demi tidak ingin membuatnya makin marah kutempuh itu. Meminta izin perawat, meninggalkan pasien dengan tangis berderai. Antara tak tega dan rasa campur aduk sesudah ditimpuki kalimat kawanku itu.
"Kau belum tahu rasanya ditimpa musibah," gumam batinku menggemuruhkan  pilu berbaur dengan deras hujan yang tak menghalagiku menuju kotanya, dengan motor tua.