Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tjiptadinata, "Cina" dalam Cinta dan Keramahan Indonesia

9 Januari 2021   05:19 Diperbarui: 9 Januari 2021   05:40 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sampai detik ini, masih banyak orang yang melihat baju asal-usul seseorang dalam melakukan penilaian.

"Ancene Cino yo ngono iku medite. Memang Cina, ya seperti itu pelitnya."

" Suruh pulang saja ke Arab kalau suka berpenampilan arab di sini."

"Koyok mbababu karo londo ae, ra roh wayah. Seperti bekerja sama Belanda saja, tidak  tahu waktu. "

"Ngene iki eleng jaman Jepang, kerjo Romusha. Begini ini Ingat jaman Jepang, bekerja paksa ala Romusha."

Kalimat-kalimat di  atas merupakan contoh steoretipe yang berkembang di masyarakat atas judge terhadap etnis bangsa tertentu. Tidak dipandang sebagai manusia pada umumnya tetapi menilai karakter, polah seseorang berdasarkan ras asal.

Imbasnya, seringkali pengambilan sikap jadi tidak fair ketika berhadapan dengan mereka. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Sayapun pernah mengalami masa menjaga jarak untuk melakukan interaksi dengan etnis di luar Indonesia.

Jangankan dengan luar etnis, dengan lain suku sesama Indonesia saja kadang tidak nyaman berkomunikasi. Masih saja saya takut dengan suku madura atau batak yang konon katanya keras. 

Ini yang kemudian saya mengerti mengapa Sumpah Pemuda perlu terus dikumandangkan gaung gemanya. Ruh Satu sebagai Indonesia itu sedemikian pentingnya untuk menjaga persatuan bangsa ini.

Pandangan apriori terhadap ras lain itu mulai pupus ketika saya sering harus komunikasi dengan para pemilik mata sipit Cina pun yang berhidung mancung Arab. Dalam bingkai pekerjaan atau pertemanan. Ternyata mereka sama seperti kita dengan sifat kemanusiaannya. Ada yang baik ada yang buruk. Ada yang lembut ada pula yang kasar.

Saya jadi mengerti, tidak mengapa orang menunjukkan identitas asal usul seseorang,  seperti budaya atau agamanya, sepanjang dia bisa menghargai orang di tempat tinggal barunya.

Sayapun, mungkin ketika tinggal di kampung orang, pasti rindu kelahiran atau nenek moyang. Maka ketika Gus Dur dahulu mengizinkan barongsay dipertunjukkan, mengakui Kong Hu Chu sebagai agama, saya tidak menentang. Bukan ingin eksklusif tapi sebentuk tumpah kerinduan saja.

Bergaul dengan kelompok mereka, mendengar gunjingan atau kabar sesuatu tentang sesamanya menjadikan saya merasa setara. Sama-sama manusia, tidak lagi ada keinginan menarik diri hanya gegara kulit dan asal usul saya berbeda. Malah saya merasa hidup lebih berwarna. Adaptasi, belajar memahami, menumbuhkan toleransi.

Foto kiriman Tjiptadinata Effendi via WhatsApp
Foto kiriman Tjiptadinata Effendi via WhatsApp
Begitu pula dengan pandangan saya tentang Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina. Kagum ini terhadap rasa mencintai bapak Tjipta dan ibu Rose pada bumi pertiwi makin tumbuh. Apalagi ketika dengan senang hati beliau berkenan menjadi bagian dari pegiat literasi Indonesia.

Sebagai bagian dari Komisi Nasional Pendidikan Jatim waktu itu, saya merasa beruntung menjadi Kompasianer. Tidak sulit mengajak diaspora penulis yang banyak bertaburan di beyond blogging ini untuk ikut menggerakkan literasi anak negeri .

Salah satu yang berkelebat di pikiran adalah nama Tjiptadinata Effendi. Saya ajukan ajak kepada beliau menjadi bagian dari berbagai program literasi yang saya tangani. Webinar dan pemecahan rekor muri diantaranya.

Langsung menyatakan kesanggupan, bahkan merasa bahagia dengan ajakan ini. "Sebuah apresiasi tak ternilai bagi saya diizinkan ikut sebagai Pegiat  Leterasi Indonesia Diaspora," tutur Bapak Tjip 16/9/2020 lalu.

Malah sebagai wujud totalitas beliau menawarkan ibu Roselina untuk bergabung juga,"Kalau berkenan mohon nama Roselina diikut sertakan sekalian."

Sesuatu yang di luar ekspektasi saya. Mengingat bisa mengajak bapak Tjipta saja saya excited apalagi ditambah Ibu Roselina.

Sampai di sini saya tertegun, dunia menulis ini begitu indahnya. Tak pandang sesiapa, literasi menyatukan gerak langkah ini. Hal yang langka saya temukan di luar dunia menulis.
Bisa jadi ajakan saya akan ditertawakan atau dicemooh bila mengingat siapa saya. Tidak kaya, tidak pula ternama. Hanya perempuan desa yang berusaha eksis lewat tulisan recehan. Jauh lebih senior kompasianer lain. Apalagi dibanding bapak Tjiptadinata Effendi. Sang life legend Kompasiana.

Sosok hebat yang kata Zamzami Tanjung, kompasianer Bukittinggi merupakan maestro  legendaris. Masih saya ingat betapa ramahnya beliau. Mengomentari karya cerpen pemula saya di Kompasiana. Balada Perempuan Pemanjat Kelapa. --Sentuh judul itu bila ingin tahu aslinya.--

Screen shoot Kompasiana.com
Screen shoot Kompasiana.com
"Rancak banaaa..baru kali ini ambo basirobok jo padusi mamanjek karambie. Tulisan yang memiliki daya magnit ,menarik pembaca untuk menelusuri kata demi kata.Terima kasih mbak Anis. Salam hangat dari jauh."

Terus terang pada komentar itu ada kosakata yang baru saya temukan dalam keseharian. Bahasa minang rupanya. Zam memberi tahu artinya dan menyampaikan tentang senioritas Tjiptadinata Effendi di Kompasiana. Diaspora, tinggal di Australia tapi konsisten menulis untuk Indonesia di Kompasiana.

Foto kiriman Tjiptadinata Effendi via WhatsApp
Foto kiriman Tjiptadinata Effendi via WhatsApp
Mata ini lalu  menekuri sosok Tjiptadinata, tidak ada arogansi senioritas di sana. Malah lebih hangat dari kaum saya, pribumi. Dia ramah, tak pandang sesiapa. Semua disapa. Begitu pula istrinya ibu Roselina.Yang saya tahu, beliau juga sangat mencintai budaya serta bahasa  tempat dia pernah muda dibesarkan, daratan Andalas. 

Sapaan khas bahasa  sana sering digunakan pada para penulis sedaerahnya. Ini membuat saya makin menghormati sosok Tjiptadinata Effendi. Cintanya pada budaya, pada bahasa Indonesia tak diragukan lagi.

Buktinya dia gunakan ribuan kata berbahasa Indonesia dalam keseharian di negara orang.  Baik ketika menulis maupun menjelajahi akun kompasianer untuk memberi komentar. Sebuah capaian yang saya sendiri sulit menyaingi.

Maka untuk kehadiran karya dan sapa beliau di Indonesia, lewat Kompasiana, saya haturkan hormat ini. Memupus pandangan minor beberapa orang terhadap etnis sipit yang katanya enggan berbaur dengan kami, pemilik kulit coklat.

Teruslah sehat bapak dan ibu Roselina, untuk menorehkan karya, membuktikan betapa cinta pada Indonesia bisa dibuktikan lewat karya. Aku Bangga Indonesia telah dibuktikan pasangan Tjiptadinata dan Roselina.

Potret seorang etnis yang beberapa orang memandang enggan mengakui ke Indonesiaan. Tjiptadinata Effendi dan istri telah mewujudkan itu dalam  keramahan karakter khas Indonesia. Ya, Tjiptadinata adalah "Cina" yang Indonesia.

Anis Hidayatie, untuk Kompasiana. Untuk Tjiptadinata dan Ibu Roselina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun