Menemukan wanita termenarik di tahun ini selain ibu kandung dan ibu mertua cukup mudah bagi saya. Satu nama akan saya teriakkan, gaungkan, gemakan, agar orang ikut mengidolakan seperti saya menjadi fans beratnya. Widz!Tidak kenal secara fisik, bahkan video call tidak pula atau melihatnya nyata di layar kaca namun sosonya begitu menempel di kepala. Sah! Saya ingin seperti dia.
Bukan ingin meniru penampilan atau gaya hidup wanita diaspora yang kini tinggal di uncle Sam itu, namun ingin melakukan tranplantasi hatinya ke dada ini. Untuk ringan berbagi yang selalu dia miliki dalam setiap gerak langkah hidupnya.
Wanita kaya dan cantik seperti dia banyak. Yang melakukan kebaikan juga banyak tetapi yang ringan berbagi dengan ruh literasi untuk ikut membangun anak negeri lewat duit pribadi baru Widz yang saya kenal.
Usai Januari menjadi penanda perkenalan saya dengan Widz. Akhir Februari menjadi langkah mula mengenal kebaikan-kebaikan Widz berikutnya.
Lewat moment ulang tahun yang akan dia rayakan tanpa terompet, lilin atau kue ulang tahun saya mengetahui yang tersembunyi dibalik hatinya. Selalu ingin memberi, itu dorongan meletup yang tak mampu dibendung.
Ranah literasi dia rambah sesudah mengenal Kompasiana. Memberi berbasis tulisan, itu yang dia lakukan dan saya tahu. Untuk kesukaannya berbagi tanpa melibatkan unsur literasi saya tidak perhatikan, tetapi perhatiannya pada penulis, pada hasil karya penulis yang telah menuangkan langkah kebaikan dalam sebuah paparan kata-kata ini yang membuat saya tergetar.
Satu-satunya perempuan Indonesia yang saya tahu demikian getolnya memberi tanpa hitungan sama sekali untuk yang telah dia lakukan. Tidak ingin dapat kembalian selain kado tulisan yang justru memantik gairah literasi penulis negeri ini. Ya Widz Stoops.
Widz Anniversary Event, membuktikan itu semua. Uang cash Rp10.000.000 telah dia bagikan untuk kompasianer yang telah menulis sosok kekurangan dan butuh uluran pun bagi sosok itu sendiri yang tulisannya masuk top five.
Bagi penulis di Kompasiana ini tentu saja luar biasa. Sebab mendapatkan uang hadiah bernilai nol enam bukan perkara mudah. Harus puluhan ribu viewer sebulan atau memenangkan blog competition. Juga untuk traktiran bernilai 100 ribu rupiah. Bagi kompasianer pasti mafhum nilai segitu. Butuh lebih 3000 viewer untuk meraihnya dari beberapa karya tulis yang telah diposting di kanal Kompasiana.
Saya tahu bagi Widz yang bergelimang dolar tentu mata uang rupiah terlihat sepele tetapi masalahnya ringan memberi, itu yang tidak sepele. Ini tidak berlaku untuk perempuan atau orang seperti Widz saja, secara umum langka Loh dermawan untuk urusan uang itu.
Lebih susah dari memberi barang. Ini sudah saya rasakan dan lihat pula di lingkungan. Misal nih diminta iuran acara tujuh belasan senilai Rp 20.000 untuk mengeluarkan berat banget, seperti ada yang menarik tangan. Akan tetapi kalau diminta sumbangan nasi kotak 5 langsung oke, padahal nilainya jauh di atas Rp 20.000.