"Dia berjanji bayar tanggal 10, ini sudah lewat beberapa kali tanggal 10 tapi selalu mangkir. Padahal aku tahu dia sedang punya uang tapi rupanya sayang buat nyaur utang."
Begitu keluh Rini, sebut saja begitu di suatu senja sambil menatap jingga yang perlahan pudar dari teras rumahnya.
Obrolan surup dengan tetangga perempuan karib mengungkap pil pahit yang harus di telan Rini tiap menagih hutang.
"Belum ada."
"Besok saja."
"Kalau sudah ada pasti kubayar. Kayak hutang berapa saja. Uang segitu jugak. Nggak-nggak kalau aku lari."
Pada penagihan yang terakhir itu Rini sudah putus asa. Enggan lagi menanyakan uangnya. Dia biarkan sudah, ujungnya malas pula bertemu dengan kawannya si penghutang itu. Lelaki teman kantor yang ketika mau hutang dulu janjinya hanya pinjam beberapa hari.
Masih ingat betul dalam memori Rini, saat itu tanggal 1, tepat ketika semua karyawan perusahaan menerima gajian. Heru, lelaki bagian pemasaran  meminta Rini meminjamkan seluruh uang gajiannya yang setara UMR itu. Karena dijanjikan tanggal 10 kembali Rini memberikan saja, dia pikir kebutuhannya masih bisa ditangguhkan untuk 10 hari ke depan.
Begitu tanggal 10 tiba uang yang dinanti tidak terbayar. Ironinya, Heru yang sering wara wiri lewat di muka meja kerja seolah tidak punya beban. Ngeloyor santai tanpa sedikitpun menoleh pada Rini yang mengharap betul mendapat uang sauran.
Sampai di situ Rini masih bisa mentolerir, mungkin sibuk. Baru ketika di rumah dia chat Heru meminta uangnya dikembalikan. Jawaban nanti didapat, sama dengan hari-hari berikut. Tidak ada uang, hanya janji saja yang diterima.
"Sabar, ikhlaskan saja, Tuhan akan menggantinya dengan lebih banyak."Â Hibur perempuan tetangga Rini mengakhiri obrolan.