22 Oktober 2020 menjadi sejarah tersendiri bagi dunia pesantren di negeri ini. Sejak ditetapkan menjadi hari yang bisa diperingati di seluruh Indonesia baru kali ini Hari Santri terkesan sunyi.
Gegap gempita pawai, dengan pakaian sarung untuk lelaki atau busana muslim bagi perempuan. Terkadang ada atraksi juga bebunyian, Â khas pesantren masing-masing. Kini tak ada lagi. Pandemi Covid-19 memorak morandakan semua. Keseruan ala ala santri itu tak nampak lagi.
Untungnya, media sosial bisa meramaikan dengan banyak berseliweran ucapan. Menjadi penyemarak peringatan hari santri. Ada yang selebrasi online, bikin video ucapan dari berbagai lembaga, juga ucapan-ucapan dari tokoh - organisasi.
Hingga ternyata ada pula yang merayakan offline, upacara di tengah pandemi. Meskipun tentu saja dengan protap yang biasa harus ditaati. Bermasker utamanya. Sebuah kebiasaan baru yang menjadi parameter sederhana atas dukungan masyarakat terhadap gerakan perjuangan melawan Covif-19.
Ada yang menarik mata saya ketika menyaksikan upacara itu. Sarungnya, Ya sarungnya. Keren banget. Warna hijau, asik juga berseragam begitu ketika dipakai upacara. Kesan sejuk serta hikmat mencuat di tengah terik yang mulai bergeliat.
Ini saya dapati di sebuah pesantren yang terletak di desa Selotambak kecamatan Kabupaten Pasuruan Jatim. Pondok Pesantren Miftahul Falah Al Hasani namanya, pimpinan K.H Yazid Bustomi. Tempat dilangsungkannya upacara Hari Santri.
Berjalan dengan tertib dan mengagumkan. Dari pembukaan hingga ditutup acara, sempurna. Mirip benar dengan upacara bendera peringatan HUT RI. Hanya beda di kostum saja.
Apalagi saat bendera merah putih dikibarkan, aura getarannya mampu menyulutkan khubbul waton, cinta tanah air. Khubbul waton minal iman. Menumbuhkan haru di dada ini, bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang peran sertanya terukir sejarah.
Menjadi santri, nderek Kyai ikut handarbeni nguri-uri ajaran agama tanpa melunturkan budaya bangsa. Bahkan siap di garda terdepan bila ada musuh datang. Jihad fi sabilillah, untuk Indonesia. Sama dengan yang dilakukan ulama nusantara jaman dahulu, sebelum merdeka, saat merebut kemerdekaan, hingga ketika mempertahankan.
Maka jika kemudian pemerintahan Jokowi memberikan apresiasi dengan menetapkan 22 Oktober melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015 telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Bisa dipahami. Peran ulama dan santri demikian besarnya untuk bangsa Indonesia, layak mendapatkan penghargaan tinggi.
Serambi news.com  21/10  menurunkan ulasan  bahwa penetapan tanggal 22 Oktober merujuk pada tercetusnya "Resolusi Jihad" yang berisi fatwa kewajiban berjihad demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hingga melahirkan peristiwa heroik 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Ancaman itu bahkan bisa berupa rongrongan ideologi. Ada beberapa ajaran yang mengujarkan kebencian pada merah putih, pada pancasila juga pada simbol-simbol negeri ini. Hingga tak sadar pikiran terbawa, hati ikut membenarkan perkataan mereka lalu ikut arus memusuhi saudara. Padahal telah lama kita hidup di bumi dan matahari yang sama.
Tengoklah beberapa aksi, damai diusung pada awalnya menjadi kesetanaan di penghujung acara. Miris, kerusakan, anarkhi, persekusi di mana-mana. Buah dari membabi buta merasa paling benar.
Ini seperti dikatakan Camat Kraton, Ridwan Haris  yang hadir saat upacara, "Dengan peringatan hari santri harapannya mampu menumbuhkan kewaspadaan terhadap ideologi yang tidak sesuai. Bertentangan dengan pancasila, merongrong NKRI, menyalahgunakan fungsi agama yang rahmatan lil alamin dengan dakwah menggunakan kekerasan. Itu yang tidak kita inginkan."
Ada pesan damai di sana. Rahmatan lil alamin. Berlaku untuk seluruh umat manusia. Santri, baik yang tinggal di pesantren maupun yang nyantri, dalam arti sebagai pencari ilmu digadang-gadang mampu membawa semangat jihad itu. Menjaga NKRI sampai mati.