Orang dusun Wangkal mengenalnya sebagai Mbak Luluk, untuk pemilik nama lengkap Luluk Romziyah ini. Perempuan kelahiran 1979 ini dikenal pula sebagai penjual pakaian untuk perempuan pembuat kerajinan sulam ini.
Saya temui di rumahnya bersama bu Kades, Dewi Rodiyah, Mbak Luluk menceritakan sepak terjangnya sebagai pengusaha kecil di bidang sulam.
Sebagai pengrajin dia pernah diminta perusahaan garment kota Bangil untuk ikut mengisi gerai milik pengusaha tersebut. Hingga pernah bertemu muka langsung dengan ibu Negara Ani Yudhoyono saat berkunjung ke Bangil pada era SBY sekitar tahun 2013.
Booming sulam menjadikannya berjaya saat itu. Kuwalahan memenuhi permintaan, produknya juga kawan-kawan penyulam lain laris manis di pasaran. Pendapatan otomatis juga meningkat. Makmur kondisi saat itu. Pengrajin dan pengusaha bisa tersenyum cerah.
Berbanding terbalik dengan kondisi sekarang terutama saat covid-19 melanda. Tetap berproduksi meskipun tidak sebanyak dahulu. Hal yang diperjuangkan adalah membuat pengrajin tetap hidup dengan upah yang pantas. Menghasilkan sulam sekaligus menjadi ketua kelompok pengrajin yang dia bina.
Harga upah pada para pengrajin dia tentukan berdasarkan kesepakatan atas tingkat kerumitan ketika mengerjakan. Kepada customer dia ajukan 2 model harga.
 Pertama, harga jasa saja. Misal untuk mengerjakan satu hijab, yang pernah dia patok yakni  dari mulai harga Rp. 15.000 hingga termahal 40.000. Ini berbeda untuk gaun atau mukena. Dengan bahan kain dan motif design dari sang pemesan.
Para penjual online suka dengan model harga tersebut. Mereka datang membawa kain, pesan sesuai keinginan, bayar, lalu dijual dengan merek sendiri.
Dalam hal ini Luluk tidak keberatan. Menjual jasa istilahnya, dengan upah yang nilainya menurut pengrajin cukup untuk menambah penghasilan mereka. Menyadari bahwa mereka  memang tidak punya modal untuk membeli bahan, membuat design juga memasarkan.
Kedua, Harga jadi. Kali  ini Luluk berperan seagai penjual produk. Menentukan sendiri harga yang dijual. Mukena, hijab juga pakaian. Meski tidak diberi nama merek karyanya laku juga.
Nilai nominal tergantung bahan, tingkat kesulitan pengerjaan, kualitas hasil sulaman tangan, dan benang atau aplikasi lain yang dia gunakan ketika menyulam.
Andalan untuk saat ini yaitu Sulam dengan teknik bayang, mengerjakan dari belakang bahan tetapi hasilnya yang akan di tampilkam adalah sebaliknya. Nampak pada muka bukan yang dimulai pengerjaan.
Sulam dengan teknik bayang ini terasa halus di tangan untuk hasil akhir tampak muka, lalu kasar di bagian belakang. Yang terlihat betul benang sulamnya.
Untuk teknik lain ada juga peminatnya. Yang timbul di muka. Terlihat pengerjaan tampak di bahan bagian depan. Ini terkadang juga diaplikasikan dengan bahan lain.
Bervariasi harganya. Untuk hijab, dengan sulam paling mudah dan kain jenis paris termurah dia patok harga 35.0000. Sedangkan untuk baju terusan dengan kain biasa dan sulam tidak terlalu banyak paling rendah harganya 135.000.
Saya melihat untuk produk jadi ini, Luluk hanya memperhitungkan biaya pengrajin dan bahan saja, belum sampai ke design. Sehingga jatuhnya harga ke konsumen menjadi sangat murah untuk ukuran pengerjaan yang rumit itu.
Pantas bila banyak orang datang untuk membeli lalu dijual lagi dengan harga berlipat, menggunakan merek sendiri. Sesuai keinginan pembeli. Terbanyak customernya dari Jakarta. Mereka menjual lagi sesuai brand mereka sendiri.
Dari lokal jawa timur banyak juga, terbanyak pengusaha online. Jadi mereka menjual produk secara sulam itu secara online, dengan brand pembeli juga.
Bagi Luluk ini tidak masalah, Â toh dia memang tidak pandai menjual. Apalagi menggunakan media online. Terpenting usahanya lancar, produknya laku. Itu saja. Sederhana.
Luluk dalam pandangan saya sama dengan pengusaha UMKM lain yang tersebar di desa-desa atau di kota yang belum tersentuh pembinaan. Perlu bantuan pihak kompeten agar Luluk bisa menjadi pengusaha dalam arti  yang sesungguhnya. Terutama terkait legalitas juga brand atau merek dagang yang dia miliki agar bisa bersaing di pasaran.
"Saya itu nggak ngerti online mbak, yang penting bisa menjual hasil sulaman jadi usaa sulam ini bisa terus hidup," kata Luluk dalam kesempatan pertemuan dengan saya kemarin, Selasa 1/9/2020 didampingi ibu Kades Sidogiri, Dewi Rodiyah dan salah satu pengrajin Sulam.
Akan dibantu mengajukan pembinaan ke Disperindag kata sang bu Kades. Agar bisa terus meningkatkan kualitas juga mengokohkan posisinya sebagai pengusaha sulam yang terus berkibar. Karena apa yang sudah dilakukan luluk mampu memberdayakan perempuan.
Sesuatu yang mulia, menjadikan perempuan lebih mandiri, tidak tergantung pada lelaki untuk sekedar memenuhi kebutuhan diri, bahkan bisa pula menjadi pilihan sumber penghasilan ketika sang suami yang kebanyakan pekerja kasar sepi job. Akibat pandemi Covid-19 yang belum berhenti hingga kini.
Anis Hidayatie untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H