Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Jadi Guru Jadilah Pekerja Bangunan Jilid 3 (Tamat), Perjuangkan! Meski Lewat Tulisan

26 Juni 2020   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2020   08:05 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anis Hidayatie, doc.pri

Siapa Sangka tulisan saya di kompasiana tentang perjuangan menurunkan UKT sekira 6 bulan lalu menuai hasil di luar ekspektasi. Mulanya hanya ingin curhat saja, sekaligus berbagi pengalaman barangkali ada orang tua yang bernasib sama dengan saya. Kesulitan membayar UKT, Uang Kuliah Tunggal.

Jangan jadi guru jadilah pekerja bangunan. Artikel itu mengupas  awal pengurusan hingga segala berkas yang harus dipersiapkan. Berupaya keras memenuhi. Sesuai prosedur. 

Mengambil blanko di bagian umum rektorat. Mengisi seluruh syaratanya, meminta tanda tangan mulai Kajur hingga dekan.

Semua saya hadapi, sendiri. Demi buah hati, agar tetap melanjutkan studi. Meski dana minim sekali. Hingga sesak memenuhi dada ketika salah satu petinggi memberi solusi agar anak saya kuliah nyambi bekerja. Bukan sarannya yang saya tangisi tapi pilihan pekerjaan yang dia tawarkan itu yang membuat gerimis menderas di pipi.

Menjadi kuli Bangunan. Satu hal yang jauh dari pikiran. Membayangkan saja tidak berani. Anak saya baru menjalani operasi tulang belakang, masa iya harus mengangkat material di punggungnya. Bisa celaka dia.

Yang dia lakukan kini adalah menjadi tenaga IT di salah satu boarding school kota Malang. Tidak seberapa gajinya, tapi dia punya tempat tinggal dan bisa makan di sana. Menghemat biaya hidup yang biasanya untuk itu lumayan mahal.

Hal itu rupanya tidak cukup berharga di mata petinggi salah satu kampus negri di Malang itu. Gajinya kurang besar. Lalu ketika dia mengetahui pekerjaan saya yang hanya guru swasta dengan gaji tidak seberapa, dia ungkapkan lagi pikirannya. Untuk anak saya, Kalau mau bisa membiayai kuliah sambil bekerja. Jangan jadi guru, jadilah pekerja bangunan.

Kisah pilu yang membuat saya berderai derai air mata itu saya tulis di beyond blogging Kompasiana ini. Share medsos dan pasang status Whats App. Rupanya bukan hanya Kompasianer yang memberi komentar, beberapa menjadikan tulisan saya sebagai bahan diskusi. Hingga seseorang, kakak kelas saya menghubungi.

"Adek masih mau UKT turun kah?"
"Iya, tentu saja."
" Kalau begitu kuhubungkan wakil rektor 3 ya?"
"Nggih mas, dospundi saenipun."

Saya chat Warek 3 itu. Ada pemakluman atas kondisi anak saya.

"Kalau orang  tua meniggal bisa bu. Anaknya supaya mengajukan tertulis. Ketemu saya saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun