Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sedekah Kata-kata, Menyelamatkan yang Akan Dibuang

8 Mei 2020   20:54 Diperbarui: 8 Mei 2020   21:09 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Tidak ada  sedekah yang paling utama selain ucapan yang baik" (HR Al-Baihaqi). Pada hadis yang lain, Beliau SAW juga bersabda, "Tidak ada sedekah yang paling dicintai oleh Allah, selain ucapan yang baik." (HR Al-Baihaqi).

Saat WFH begini, alhamdulillah pekerjaan saya menumpuk. Ketika banyak yang kehilangan pekerjaan. Saat beberapa tetangga dirumahkan ada sebuah project yang harus saya kerjakan dengan Tim, kompasianer juga, Deddy Husein, Santoso Mahargono dan Enik Rusmiati, untuk Komalku Raya, Komunitas menulis buku Malang Raya dan Sekitarnya. Yakni membantu guru-guru pemula sebuah Kabupaten untuk bisa mempunyai buku sendiri.

Dari tidak bisa menjadi bisa, itu saja tergetnya. Bukan bisa dalam arti mahir sekali, wong kami juga bukan penulis huebat yang punya nama besar. Kami penulis yang konsisten di Kompasiana. Belajar di sana, berinteraksi, menemukan koreksi penulisan ya dari sana juga. Sehingga ilmu yang kami bagi ya yang kami miliki itu.

Kami terbiasa, ini modalnya. Maka yang kami bagikan kepada peserta ilmu membiasakan saja. Menulis dan menulis, ini rumusnya. Sehingga ketika naskah yang masuk kepada kami kurang layak untuk dikonsumsi pembaca, ya kami maklumi. Terpenting mereka sudah bersedia menulis.

Bagi pemula, membuat buku solo, dengan minimal jumlah halaman 75 dan jumlah kata di atas 20 ribu itu tidaklah mudah. Jangankan sebegitu banyak. Satu paragrafpun kalau tak terbiasa, akan kesulitan sangat. Kondisi inilah yang membuat saya dan teman-teman se tim menyadari. Maka kami berlakukan editing berlapis sebelum sampai editing utama sebagai pihak penentu kelayakan naskah untuk diterbitkan.

Saya pribadi kebagian membimbing mereka yang berkeinginan menulis fiksi. Mulanya, saya pikir "Ah, pasti bisa. Kan semua para guru. Buku bukan barang baru, setidaknya mereka pasti punya referensi sebelum menulis sesuatu."

Kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Dari 10 guru rerata hanya 2 orang yang sesuai perkiraan. Sisanya, wadzau jauh dari layak untuk dijadikan buku. Umpama dikirim ke media, tanpa perlu menengok sudah pasti masuk ke tong sampah. Musnah.

Tapi saya tidak tega, ada saran mengembalikan naskah. Diminta menulis lagi. Memperhatikan catatan catatan yang pernah diberikan di kelas penulisan. Mulai dari memilih kalimat, hingga menyusun menjadi paragraf lalu merangkainya hingga layak disebut tulisan.

Interaksi dua arah dengan penulis saya lakukan. Secara pribadi mereka sadar kok kalau belum punya kemampuan menulis baik, sehingga banyak yang berkata."Kalau tidak layak ya nggak papa kok bu. Tidak usah diterbitkan."

Nada putus asa itu pernah saya rasakan bertahun lalu, pertama kali mengimirim naskah ke koran. Di kembalikan. Nyesek,  mau nangis benar. "Ah, saya emang gak bakat menulis."  

Seketika saja saya enggan lagi menulis apapun. Sampai suatu saat ada lomba menulis tentang tema lingkungan jaman PGA dulu. Mewakili kelas sebetulnya, terdorong ikut karena saya memang sebel banget dengan budaya buang sampah sembarangan di masyarakat kita. Ternyata juara 1. Kaget tentu saja, judul artikelnya satu kata "Sampah", tapi bisa menang.

Bimbingan guru yang akan mengirim naskah itu ke tingkat propinsi menyadarkan saya. Banyak hal yang harus saya perhatikan untuk penulisan. Bukan hanya konten, tetapi cara menyajikan. Memilih kata, membuat enak dibaca. 

Telaten sekali bapak guru saya itu. Hingga timbul lagi semangat menulis. Belajar, berlatih, memperbaiki kesalahan. Terus berulang. Itu saya peroleh dari ucapan motivasi guru saya. "Jangan takut salah, kesalahan menulis bisa diperbaiki. Tapi kalau kau putus asa, tidak mau menulis, apanya yang akan diperbaiki. Jelek itu lebih bagus dari tidak menulis sama sekali. Kamu hebat, bisa menulis. Tidak banyak yang sepertimu. Kau tahu itu. Jadi tetaplah lanjutkan menulisnya."

 Bil hikmah, wal mauidhotul khasanah, dengan kasih sayang dan ucapan yang baik. Tak pernah dia menyebut kata-kata makian. Apalagi seperti yang sekarang membudaya di kalangan millenial. Mengatakan sampah untuk karya yang mereka nilai jelek. Seolah membenarkan untuk kritik saran harus dihajar dengan caci maki.

Ah, sungguh saya tak setuju itu. Meski mereka bilang. Penulis harus tahan banting, harus mau dikritik pedas. Supaya dia tahu dan sadar kesalahannya. Apa harus begitu? Tidak ah, ada tanggung jawab moral, membudayakan santun bertindak dan bertutur.

Ini saya terapkan pada guru yang saya dampingi. Lama memang jadinya tetapi dia bisa tersenyum karenanya. Kesedihan yang dia ungkapkan dengan emo menangis, "Itu sudah hasil editan berulang kali lo bu, juga sudah nanya teman-teman. Mentok bu." Tidak lagi muncul.

Malah semakin produktif. Ada saja yang ingin ditulis hingga target 75 halaman terlampaui. Saya bahagia melihat perkembangan itu. Menulis lepas, tidak dibawah tekanan. "Menulis saja bu. Hajar terus salah benar urusan belakang. Nanti kalau sudah terbiasa bakal lanyah sendiri."

Itu adalah buah kata-kata. Saya suka melihat mereka tersenyum, melakukan sesuatu dengan hati gembira. Menghasilkan karya. Ini yang tak terukur dengan nominal. Kata orang bahagia itu sederhana betul. Sedekah kata-kata, ternyata dapat menyelamtkan naskah yang akan di buang. Mampu membuat orang bisa merasa bahagia, Connecting Happiness, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

8 Mei 2020: Aksi sedekah ala saya. Artikel harus mengandung frasa "Connecting Happiness"  (Label: Samber 2020 Hari 12 & Samber THR)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun