Ada beberapa kebaikan yang mungkin mungkin bisa kau terima dari hidup  serba kekurangan: Tidak silau makanan mewah, jauh dari keinginan berkumpul dengan sosialita harum,  terlatih untuk merasa tak perlu memiliki barang - barang mewah.
Merasa baik-baik saja kadang memang  terasa manis. Tetapi jauh di lubuk hatimu, ia merongrong persendian rasamu, menggerus kesenangan, pelan-pelan. Hingga saatnya kau menyadari, merenung dan mulai berpikir: andai  bisa makan enak , tentu akan menyenangkan. Apalagi punya baju bagus, tinggal di rumah dengan perabotan layak seperti orang kebanyakan.
Satu kalimat terakhir itulah yang mungkin dirasakan oleh sasaran tembakku ketika Ramadan tiba. Mengunjungi mereka yang dinilai kekurangan, mengirimi bahan makanan, supaya ikut bahagia kala tiba waktu berbuka. Meski kutahu puasa bukanlah hal aneh, hampir tiap hari mereka melakukannya pada hari biasa.
 Dari aghniya', orang kaya yang menitipkan zakatnya untuk kusalurkan. Baik fidyah juga mal. Zakat Fidyah, harus dikeluarkan bagi orang yang tak mampu berpuasa. Entah sakit, sepuh, hamil atau menyusui. Zakat fidyah, mereka berikan dengan ketentuan memberi makan pada fakir miskin untuk hitungan sehari makan.Â
Rerata muzakki, orang yang berzakat fidyah itu menitipi aku uang. Terhitung beberapa hari mereka tidak berpuasa. Untuk kubelanjakan bahan pokok, beras, minyak, telur, juga mie. Lalu membaginya kepada sasaran tembak. Fakir miskin yang untuk makan pontang panting berjuang.
Kegiatanku jelang berbuka, seraya ngabuburit yakni keliling berjualan makanan minuman berbuka. Dari rumah ke rumah, dalam kampung saja kali ini. Tidak sampai jauh mengingat distancing. Ngabuburit saat pandemi, aku menyesuaikan. Berburu senja dengan membagikan zakat sambil berjualan, itu yang kulakukan.
Tidak cukup satu hari membagi, mengingat membawanya juga kesulitan. Sepeda butut peninggalan suami ini tidak  mampu membawa banyak sekaligus. Tapi kuusahakan tersalur segera. 3 hari biasanya untuk 15 penerima.