Sekian detik sesudah saya pasang status "Perempuan dilarang sakit" di aplikasi WhatsApp, tanggapan bak sebuah koor dengan lagu setuju berdatangan.Â
Bukan hanya sesama emak seperti saya yang merasakan hal demikian, ada pula tanggapan dari para lelaki, anak muda yang menganggap saya ibu kedua menyepakati.
Dengan kalimat yang membuat saya terharu. "Betul bu, saya lihat sendiri ibu saya begitu. Dia sering katakan baik-baik saja meski saya tahu dia sakit, sekedar menenangkan anggota keluarga."
"Karena perempuan itu bumi. Kalau buminya sakit, semua kena dampaknya." Itu juga dikatakan Deddy Husein, kompasianer yang kalau sakit ogah bener saya bawa ke dokter. Menghindari obat kimia katanya.
Padahal saya itu sangat cepat tanggap untuk urusan sakit. Langsung ke dokter, sendiri periksa, untuk segera mendapatkan penanganan. Diberi obat dengan keyakinan segera sembuh, bisa lanjut mengerjakan rutinitas. Hal yang takut sekali saya abaikan.
Mencuci baju, membereskan peralatan makan dan masak yang kotor, bersih-bersih rumah, serta menyiapkan makan harian bagi penghuni rumah adalah aktivitas klasik yang selalu memenuhi tugas kepala.
Sebelum itu beres semua serasa ada hutang yang harus ditunaikan. Sehingga ketika badan kurang kompromi, sebisa mungkin tetap mengupayakan tugas itu selesai. Dengan segera sembuh atau menahan kesakitan. Itu sebenarnya alasan utama.
Diamini ibu-ibu lain ternyata. Perempuan yang mengaku punya rasa yang sama. Khawatir dirinya sakit, tidak berani sakit, mensugesti diri untuk tak merasa sakit agar tugas harian tetap terselesaikan.
Saya katakan ini pada Deddy, bukan tidak percaya pada lelaki. Tetapi tradisi menyimpulkan kalau perempuan sakit maka rumah bakal "berantakan" menjadi kesepakatan.
Sehingga kalau kebanyakan ibu-ibu bersuara sepakat, setuju pada status pernyataan saya bisa dipahami. Deddy pun tak menolak atas stigma itu.
"Ya, like me. I always see my mother keep work although she's unfit."
Sebagai upaya sembuh tanpa dokter untuk sakit batuk pilek, saya langsung ke apotek, beli obat. Meminumnya sesudah makan. Tak lupa selalu minum air putih hangat, lalu tidur. Satu jam cukup untuk mengembalikan stamina. Melanjutkan pekerjaan rumah.
Kalau emak mertua tanya,"Kau kenapa?"
Untuk kegiatan tidur siang yang sangat jarang saya lakukan itu, saya jawab dengan kalimat,"ngantuk niki, wau dalu nglembur nggarap nilai."
Dia tak khawatir, saya bisa terjun bebas bermimpi tanpa ditanya lagi. Trik ini saya berlakukan pula untuk sakit yang lain. Agar segera sembuh lalu kembali beraktifitas seperti biasa.
Menjauhi bertemu dokter, apalagi antri periksa ke Puskesmas. Itu yang saya upayakan saat musim virus Covid-19 begini. Takut diduga-duga dengan kecemasan nanti harus melakukan pemeriksaan lanjutan. Jadi ODP. Wadaw, takut benar saya, sudah paranoid sepertinya .
Berlaku untuk saya ternyata tidak untuk anggota keluarga yang lain. Segera menuju UGD ketika anak saya mengeluh sesak napas tengah malam. Kali ini takut yang saya rasakan lain lagi. Takut salah penanganan.
Maka poin-poin menghindari bertemu dokter saya langgar sendiri. Positif perlakuan harus saya pastikan untuk anak saya, dan itu hanya bisa didapatkan setelah melewati pemeriksaan.
Apapun hasil akan saya hadapi untuk kesembuhan. Saya tidak mau main-main untuk kesehatannya. Misal dituduh ODP tak mengapa, toh banyak pasien sembuh setelah mendapat penanganan tepat. Ih, tapi jangan deh, maka kumandang doa-doa memenuhi ruang batin dan mulut ini.
Sempat terpikir demikian mengingat sekarang virus itu bak hantu bergentayangan. Juga karena aktifitas kerja si sulung setiap hari. Ke tetangga kecamatan yang juga ditetapkan sebagai zona merah setelah ada kejadian meninggal disebabkan Covid -19, Dau namanya.
Pergi pagi pulang ketika mentari akan tenggelam. Meski untuk itu dia harus melewati penjagaan. Juga merasakan semprot disinfektan herbal dan cek kesehatan sebelum masuk lokasi kerja. Khawatir, tetap saja sempat menggantung di benak pikiran ketika dia mengalami sakit seperti ini.
Mengajukan beberapa pertanyaan."Sejak kapan?"
"Punya riwayat sakit sesak kah?"
"Apa juga menderita batuk, pilek dan mual?"
Setelah saya jelaskan hanya sesak saja, dengan rekam sakit pernah bronchitis dia melanjutkan bertanya tenang.
"Biasaya obat apa yang diminum?"
"Wah, saya tidak hafal."
"Diuap ya?" Tawarnya kemudian.
Bersamaan jawaban Ya, perawat lain mulai menyiapkan tabung oksigen, dengan selang dihirup si sulung. Perubahan rona saya saksikan, mulai terlihat cerah mukanya, tak lagi pucat seperti ketika tadi dia mengeluh susah bernapas. Lega, bismillah membaik, segera sembuh.
Berarti kondisi tidak mengkhawatirkan. Syukurlah. Ketakutan saya berangsur hilang. Bayangan bertemu ruang isolasi penderita Covid-19 musnah sudah. Meski begitu sampai di rumah standard kebiasaan setelah bepergian tetap saya berlakukan.
Cuci tangan, masuk kamar mandi, pun ganti baju. Sebelum akhirnya lelaki sulung saya makan nasi dan ceplok telur andalan serta meminum obat pengantar lanjut tidur.
Situasi dalam cengkeram berita corona betul-betul saya rasakan. Ketakutan muncul untuk semua situasi. Ini bisa jadi psychosomatis kalau tak waspada. Seperti yang diakui beberapa pasien terindikasi, PDP. Tekanan mental, berita buruk turut mempengaruhi kesehatan.
Jangan tunda, apalagi menunggu sampai parah, itu akan memperberat tugas paramedis yang sekarang juga berada dalam situasi berat. Dokter dan perawat medis itu saat ini sebenar-benar pejuang.
Kita ringankan beban mereka untuk tidak sakit. Stay at home. Atau kalau sakit jangan tunda, segera periksa. Bila segera tertangani tentu berakibat baik pula. Meminimalkan pasien dalam pantauan. Meringankan tugas pengawasan.
Kita berjuang untuk kesehatan diri. Yang berati pula membantu tenaga medis. Kita ringankan perjuangan mereka. Untuk tak turut membebani dengan menangani orang sakit akut. Jadi, Jangan takut periksa ya. Tidak semua keluhan sakit dicurigai Corona, tetap tenang. Ikuti prosedur agar segera sehat.
Dan, kalaupun terkena pandemi covid-19, bisa segera mendapatkan penanganan, entah isolasi mandiri, atau evakuasi ke Rumah Sakit rujukan. Ini akan meminimalkan jumlah orang yang rentan terkena paparan. Keep fight. Tetap berjuang. Untuk kesehatan diri sendiri juga orang-orang yang kita sayangi.
Ngroto, 12/03/20
Ditulis Anis Hidayatie, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H