Amazing, Â itu satu kata yang saya ucapkan berulang mengiringi pekik masya Allah yang keluar dari gumam mulut saya. Â Bertemu dengan orang-orang luar biasa denga inspirasi berbagi yang luar biasa pula. Â Hanya dalam hitungan hari, orang-orang ini ada dalam lingkaran saya. Â Sesuatu yang membuat merinding bulu roma. Menularkan semangat ingin berbuat seperti mereka juga.
Berbeda orang, Â berbeda budaya, Â berbeda tempat tinggal, berbeda agama namun dalam satu ruh tunggal. Berbagi, Â orang-orang ini sangat meyakini bahwa berbagi adalah lingkaran kebaikan yang tak ada ujungnya.Â
 Yang berakhirnya akan kembali pada mula, yang efeknya bisa memberikan cahaya hingga jauh ke luar lingkaran tersebut. Bahagia ketika mampu membuat orang bahagia. Ini kesimpulan yang saya ambil setelah bercengkerama, bergaul,  dan menjadi bagian dari misi mereka.
Sukses, Â alhamdulillah mampu memenuhi keinginannya, Â memberikan Inspirasi pula pada banyak orang untuk berbagi. Entah sekedar menulis, Â memberikan sumbangan uang, Â pakaian, makanan atau lainnya untuk mereka yang kurang beruntung.Â
Menjadi gerakan luar biasa,  untuk lahirnya embrio semangat berbagi. Tanpa pandang bulu,  berdasarkan urgensi perlu dibantu saja.  Widz mengatakan bila kita membantu mereka  tanpa pamrih apa-apa maka kebaikan akan kembali ke kita,  seperti lingkaran tak berujung. Yang kita tanam akan kita tuai,  bergulir terus.Â
![Elang Salamina, doc. pri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/13/img-20200313-152502-jpg-5e6b47d6097f3632310f1d92.jpg?t=o&v=770)
Kedua adalah pertemuan dengan pengusaha dan anggota dewan lombok di Jakarta. Sebagai penulis dan konsultan sosial saya datang hari itu. Bahwa ada aroma bisnis yang diusung dari meeting itu tidak saya pungkiri.  Secara Pak Herman, sebagai distributor tunggal mesin perahu Parsun di Indonesia membicarakan sisi prospek penjualan produknya di Indonesia.Â
Dengan Pak Makrus atau yang sekarang dikenal sebagai Pak Edy Soemitro, pengembang yang sekarang sedang dipercaya membangun seribu rumah korban gempa lombok.
![Anis Hidayatie, doc.pri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/13/img-20200313-150911-jpg-5e6b4867097f3658043e32e2.jpg?t=o&v=770)
Sebagai bentuk bantuan untuk masyarakat. Â Sisi lain dari upaya berbuat sesuatu untuk sesama di antara kegiatan padat yang mereka lakukan selama kunjungan ke Jakarta.
Dalam pandangan Pak Herman, berbagi, Â memberikan sesuatu kepada orang lain adalah keharusan. Agar sisa hidup bisa berarti. Tak peduli pada siapapun, Â asal membutuhkan, uluran tangan harus kita berikan. Meskipun pada mereka dengan latar belakang agama, budaya, Â atau etnis yang berbeda. Untuk kemanusiaan.
Dia buktikan itu. Satu yayasan Katolik yang concern merawat orang-orang cacat ganda di kota Malang dia sokong. Sambil menceritakan bagaimana dia begitu empati pada perawat di sana yang begitu telaten mengajar dan mengurus mereka yang kurang sempurna.Â
"Kalau saya jadi mereka,  punya keluarga  begitu,  belum tentu saya sanggup mengurus. Respek saya pada perawat itu. Maka saya berikan bantuan uang rutin,  supaya mereka yang kurang sempurna bisa mendapatkan perhatian."
Usia terus bertambah, Â kalau tidak segera berbuat, Â kapan lagi. Mati itu pasti, dikenang karena kebaikan itu yang sulit dilakukan. Maka mengapa kita tidak segera lakukan selagi ada kesempatan.Â
Tanpa menunggu kaya dahulu. Tak perlu punya uang banyak. Berikan sebagian yang kita punya,  bareng dengan proyek yang sedang kita kerjakan. Hitungan cashflow biar diurus akuntan. Tapi berbagi, social responsibility tetap harus kita masukkan, menjadi agenda,  diutamakan.
Keyakinan ada timbal balik atas kegiatan sosial yang dilakukan menjadi motivasi. Ini dikatakan langsung Pak Edy pada saya. "Jangan menunggu untung dulu untuk memberi mbak, Â karena mereka yang membutuhkan menanti uluran tangan. Saya yakin Tuhan akan makin memudahkan jalan pada kita bila niat tulus ada. Proyek jalan, Â sosial diberikan bareng pengerjaan. Sama- sama jalan."
Sepakat, Â saya suka pemikiran orang-orang ini. Berbagi tak perlu menanti kita kelebihan dahulu. Berhitung terhadap yang kita miliki boleh, Â tetapi stop untuk pelit memberi. Karena pikiran - pikiran sayang uang akan menguasai. Â
Seperti orang yang sedang menakar roti untuk diberikan. Â Mulanya dia punya 10 potong. Akan diberikan sayang, Â lalu berpikir dikurangi, Â hingga 5 saja. Dia pikir kebanyakan pula sampai pada keputusan 1 saja lalu berubah pikiran, Â nantilah kalau punya roti 20 potong lagi. Akhirnya tidak jadi memberi.
Begitulah keadaan hati dan pikiran ini. Â Perlu pembiasan, butuh latihan. Pun halnya dengan memberi, berbagi. Rasa empati itu kalau kita pupuk akan muncul getar otomatis ingin melakukan sesuatu, Â atas dasar cinta sesama. Â Â
Itu yang saya pelajari dan amati pada mereka yang punya kepedulian besar pada orang lain. Meminggirkan prasangka sangka atas etnis tertentu - baca: cina - yang pernah saya tuding tak punya hati pada orang-orang pribumi. Maafkanlah.
Karena memberi bukan hanya tentang harta saja tapi apapun yang kita punya, yang melekat pada diri kita. Termasuk berbagi senyum terindah.Â
Bukankah kita akan bahagia bila melihat orang lain memberikan senyum pada kita? Â Itulah kebiasaan paling ringan yang menurut saya perlu dilatihkan, Â sebelum kebiasaan berbagi yang lain menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter kepribadian.
Saya melihatnya, Â merasakan pula pada orang -orang dermawan itu. Senyum, Â menjadi hiasan indah pada rona mereka ketika bertemu atau bertatap muka. Dengan senyum, Â berbagi tak harus menanti, Â untuk seluruh umat manusia di muka bumi.
Anis Hidayatie, Â untuk Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI