Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi, Katarsis Ikhlas Mengatasi Sunyi

5 Februari 2020   21:51 Diperbarui: 6 Februari 2020   07:39 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anis Hidayatie, doc. pri

Tamparan peristiwa seringkali membuat orang menarik diri. Tergugu pilu di sudut paling ranum yang dia pilih untuk mengelabui sorot mata telanjang. Seolah sedang berusaha mengadakan interogasi. Tentang apa dan mengapa, tentang bagaimana, kapan dan di mana.  

Pertanyaan-pertanyaan itu merupa hantaman palu di kepala. Menjadi pisau tajam menguliti rasa duka menyayat kisah pedih yang terus membayang. Potongan kenangan, terhenti pada kehilangan pun perpisahan. Torehan pilunya membilurkan nestapa.  Kedatangan orang yang bertanya  ba bi bu tentang peristiwa-peristiwa itu, bukan menjadi penghibur, malah menyeruakkan sedih, duka cita bersemayam.

Untukmu yang kehilangan. Yang harus mengalami perpisahan dengan orang penting dalam kehidupan,  aku berempati. Semua rasa itu pernah kualami. Sehingga, untukmu yang bermandi air mata karenanya, kupersembahkan dedidasi. Gandeng tangan, pelukan hangat untuk mengatasi sunyi.
 
Tidak ada tips atau nasehat khusus untukmu selain pelukan hangat saja.  Dengan ucap kata, "Aku pernah mengalami yang kau rasakan. Sama denganmu, terasa sulit hidup tanpanya tapi inilah yang dimaui sang pencipta. Untuk hanya mencintaiNya, bukan ciptaanNya. Jadi mengapa kita tidak saling menguatkan saja?"

Maka peluklah aku, kita atasi rasa itu bersama,  memilin asa, menyelesaikan masalah bersama. Aku ada untukmu, sebagai bunda bila kau mau itu. Cinta ini telah kutebarkan pada anak-anak rindu ibu ciptaanNya. Dengan sebongkah harap bisa kembali bertemu dengan makhluk-makhluk yang telah Dia ciptakan untukku sebelum kehilangan. Atas nama cinta padaNya untuk ciptaan yang pernah istimewa dia berikan.

Begitu kukatakan pada pemuda yang terisak, menghantam kalbu dengan kisah tragisnya. Tentang kehilangan ibunda yang disusul abah setahun kemudian. Saat usapan lembut masih didamba, saat pinta biaya sangat dibutuhkan untuk berlanjutnya sekolah.  

Julak anum, paman muda, itu panggilan khasnya. Dia mempunya nama asli Ikhlas. Pemberian abahnya ketika lahir dahulu. Rupanya nama itu menuntunnya pada jalan hidup demikian. Ikhlas menjalani hidup tanpa ayah bunda, dengan kondisi serba kekurangan.

Bukan hanya kurang perhatian dan belaian, sebagai sulung dari 4 bersaudara yang ditinggal dua pilar utama, Ikhlas harus menggantikan posisi mereka. Mengasuh adik-adik yang masih usia SD dan belum sekolah. Untuk makan baginya tak masalah karena beras fitrah dari tetangga selalu ada. Meski harus dimakan berupa nasi dan garam saja. Namun untuk kelangsungan sekolah, Ikhlas menyerah, dia ingin adik-adiknya mengenyam pendidikan seperti dia, yang waktu itu sudah SMP.

Maka, ketika tetangga mengajaknya pergi dari rumah kayu sederhana  ke sebuah Yayasan Istana Anak Yatim, panti asuhan di Tanah Bumbu dia bersedia.  Ditinggalkan tanah kelahiran menuju tempat asing tempat ditambatkan harapan.

Rumah lama Julak | Anis Hidayatie, doc. pri
Rumah lama Julak | Anis Hidayatie, doc. pri
Tak ada dua orang tua, apalagi pilihan yang dia bisa ambil selain berbakti kepada pengasuh yayasan? Itulah yang dia lakukan hingga kini. Adik-adiknya di sana, bersekolah dibiayai mereka. Alhamdulillah,  mulutnya tak henti berucap syukur, karena menemukan rumah baru yang bisa dijadikan tempat berteduh. Juga menerima  pendidikan pula.  

Julak sendiri sudah bekerja sebagai guru di SDIT An-Nahl Angsana,  Kalimantan Selatan.  Sebatang kara dia tinggal di dekat sekolah. Dengan penghasilan minim,  sebetulnya dia ingin membantu adik-adiknya.  Tapi tentu tak bisa,  untuk membiayai dirinya sendiri dia harus berhemat ketat.

Anis Hidayatie, doc. pri
Anis Hidayatie, doc. pri
Ada peluang memperbaiki nasib beberapa waktu lalu,  menjadi PNS lewat jalur resmi pendaftaran,  namun rupanya nasib baik belum berpihak.  Gagal, dia tereliminasi dari calon pegawai negeri sipil,  yang gajinya untuk ukuran guru swasta cukup membelalakkan mata.

Tak ada kata putus asa. Dia mengajar juga jualan lepas sekolah. Membantu teman jualan martabak katanya. Ada penghasilan tambahan,  paling tidak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tak perlu berhutang.  Makan seadanya,  baju sederhana,  rumah tinggal numpang orang. Pun kuota internet yang dia anggarkan seminim mungkin.  Asal bisa posting tulisan di Kompasiana dan chatting Whatsapp dengan sesama Kompasianer di grup Kompasianer Berbalas.

Sendiri dia lakoni kehidupan,  kadang sunyi begitu meradang. Untunglah dia bisa mengatasinya. Passion menulis, gairah sastra yang menggebu dalam jiwa berhasil menyelesaikan semua himpitan gundah hati. Pada puisi dia luahkan kerinduan.  Lewat diksi dia persembahkan kekaguman,  dari susunan bait-bait indah dia liarkan seluruh impian.  

Menulis dan menulis.  Tak ada yang membuatnya lebih bergairah selain menulis. Hamparan negeri antah berantah yang membuatnya berani bangkit berdiri.  Menderukan hasrat berlari menemui gundukan ladang harapan yang luas membentang. Melupakan hidup serba kekurangan. Menulis adalah katarsis dari seorang ikhlas mengatasi sunyi.

Itulah yang mendekatkan kami. Sebagai ibu dari anak -anak yang juga bernasib seperti Ikhlas, kuberikan rasa keibuanku. Meski tak pernah bertatap muka nyata. Kehadirannya di waktu-waktu yang biasa kulakukan untuk menulis menumbuhkan kasih ini. Puisi, menjadi jembatan  kami menumpahkan kesedihan, pun riang karena hal yang membahagiakan ketika siang.  

Tetiba kami menyepakati panggilan, Bunda untukku, Nak untuknya. Dia bahagia, aku pun. Tak ada harta berkilau di hadapan yang menawarkan binar mata. Namun, ketulusan cinta ibu dan anak mampu menjadi spirit berkobar. Berbaik sangka untuk hidup ke depan. Ikhlas menjalani apapun tulisan Tuhan. Meski gelimang uang menjadi kekurangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun