PCB | nomor urut 6
Hasrat bertemu Ratih meloncat loncat terus di  kepala , keinginan memeluk tubuhnya berbanding lurus dengan curiga yang mendera.  Juna tidak tahu bagaimana bisa dia  jadi begitu ingin tahu tentang Ratih.  Padahal dia adalah kecelakaan yang tak bisa dihindari untuk kehidupannya.
Harus menikahi, Â tidak bisa tidak, secara ibu Juna berhutang budi pada ibu Ratih. Â Ada satu ginjal di dalam tubuh ibu Juna yang pernah dimiliki ibu Ratih. Ini yang membuat Juna tak bisa berkutik menolak permintaan sang ibu untuk menikahi Ratih, Â lulusan Cambridge yang di usia 30 belum pula menikah. Â
Ratih cukup cantik, Â smart, enak diajak bicara. Itu kesan yang diperoleh Juna ketika dinner pertama di rumah Ratih. Perempuan berkulit bersih itu mampu membuatnya tertahan mengobrol lebih lama. Â Mengabaikan panggilan Elsa yang tak henti menghubungi. Gadis lembut yang telah lebih satu tahun mengisi hari-harinya. Â
Elsa cukup mengerti dengan situasi Juna saat itu, maka dia biarkan Juna menikahi Ratih, dengan harapan  ada pula kesempatan dinikahi Juna. Entah melalui jalan Juna bercerai dengan Ratih atau dijadikan istri kedua.  Cinta untuk Juna begitu besarnya hingga tak ada pikiran berpindah ke lain orang. Â
Elsa menunggu Juna dengan sabar, satu tahun berhubungan sembunyi bukan hal mudah. Â Adalah perjuangan menemui Juna, Â begitu sulitnya, hingga sering dia merasakan letih luar biasa. Hanya bulir bening di mata menampakkan itu semua. Â Seperti kali ini, Â kesekian kalinya bertemu, rasa sesak memenuhi dada. Rasa semakin jauh mengecilkan harapan bersatu. Juna tak lagi seperti dulu. Â Selalu terburu, Â selalu ingin segera mengakhiri pertemuan, tanpa sedikitpun sentuhan.
"Baiklah aku pamit kalau begitu, mungkin untuk terakhir kali." Tak menunggu Juna menjawab, Â Elsa segera berlalu dari ruang Juna, Â dengan isak, dengan deras air mata. Â Sedikit terkejut mendapati sosok Ratih di depan pintu. Â Tak ada sapa, Â bergegas dia menuju toilet, menuntaskan tangis dan merapikan kembali riasan.
"Bisakah kau pulang sekarang Juna?" Ratih langsung berkata seperti itu kepada suaminya yang ternganga dengan kedatangan Ratih tanpa pemberitahuan sebelumnya.
" Ada apakah, aku masih ada jadwal meeting dengan klien sebentar lagi."
" Elang demam tinggi, memanggil Papa, Papa saja dari tadi. Kau kuhubungi tidak bisa, Rossi kutelpon, katanya  kau pesan untuk tidak mengganggunya. Jadi sama ibu aku disuruh mendatangimu ke kantor."