Indonesia, di tempat ini kita hidup, menghirup udara yang sama, menikmati hujan, bermandi cahaya matahari yang sama pula, membaui keringat penduduk negeri ini dalam satu majelis tanpa sekat jarak atau halangan. Tsah, itu kita alami setiap hari.
Mau tidak mau, suka tidak suka kita hidup dalam heterogenitas. Hal-hal yang berbeda menjadi kawan,tidak bisa kita menolak kehadiran.
Harusnya itu memperkaya wawasan, menambah pengetahuan tentang hal-hal yang tidak sama akan menjadikan kita lebih arif memandang sesuatu, dewasa memutuskan pengambilan sikap untuk tidak terjebak pada perselisihan yang ujungnya terpecah belah, bertengkar.
Apapun pilihan penampilan, itu adalah tanggung jawab pribadi manusia terhadap Tuhannya. Bukan persoalan berbangsa dan bernegara.
Baik yang merasa hijab bukan kewajiban maupun yang meyakini hijab adalah bagian dari kewajiban melaksanakan syariat juga mereka yang memilih bercadar sebagai pakaian utama semua bertanggung jawab secara personal kepada Rabbnya kelak di hari penghitungan.
Tidak ada jaminan pula siapa lebih baik dari siapa, karena kita tidak tahu amal apa yang akan diterima oleh Rabb kita, Allah ta 'ala.
Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf saat ia ditanya wartawan perihal pernyataan istri mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah mengenai persoalan pemakaian jilbab yang kontroversial.
Sebagaimana dilansir Suara Jogja, Cholil menjelaskan, perihal jilbab merupakan sebuah fikih dalam agama Islam. Fikih merupakan turunan dari syariat.
Persoalan akan muncul kalau seseorang atau satu kelompok memaksakan pandangannya kepada orang lain, bahkan sampai memaksa.Â
Ini tidak bisa, karena hukum yang harus dipatuhi dalam bernegara adalah adalah hukum positif, yang memang sudah ditetapkan oleh negara.Â