Hijab lagi, lagi-lagi hijab yang diperdebatkan, dipakai alat untuk menyudutkan seseorang. Hingga menyemaikan masalah, bingkai perbedaan menimbulkan persoalan.Â
Dan karena yang sedang diserang adalah anak dari guru bangsa, Gus Dur, maka persoalan ini jadi viral. Banyak orang melihat, ikut terlibat, berkomentar, unjuk pendapat, merasa paling benar.Â
Mereka yang pro hijab dan kontra hijab berseteru saling unjuk alibi. Dalil dan dalih menjadi senjata, saya rasakan tak lagi dalam nafas amar makruf nahi mungkar, mengajak pada kebaikan mencegah keburukan. Namun, ada bau amarah dalam ujaran.
Harusnya itu semua disampaikan dengan santun penuh kelembutan, bil khikmah wal mauidhotul khasanah. Rasulullah saw telah mencontohkan itu.Â
Tidak ada emosi atau amarah ketika beliau menyampaikan sesuatu dan orang yang diajaknya tidak menanggapi, bahkan memusuhi, melempar dengan kotoran. Mendoakan mereka yang memusuhi.
Persis seperti yang disarankan Gus Mus, Mustofa Bisri dalam cuitan Twitter menanggapi cuitan Alissa Wahid kemarin, 23/01/2019, dia sarankan pada Alissa untuk mendoakan saja.
Dalam pandangannya, warganet menggunakan narasi sama untuk menyudutkan ibunya, Sinta Nuriyah dan keluarga Gus Dur.
"Menarik, pagi ini mengamati mention beruntun soal ibu dengan narasi yang sama. 'Jangan sombong/pamer soal pendidikan & keturunan', 'Keluarga nabi2 juga ada yang sesat, apalagi cuma anak/keluarga Gus Dur'," cuitnya seperti dikutip Suara.com, Kamis (23/1/2020).
Ah, terheran saya, kenapa persoalan hijab jadi melebar sampai ke akar keturunan? Bukankah tiap orang akan bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri? No bodies perfect, tidak ada manusia sempurna.
Hanya satu manusia yang maksum, terjaga dari noktah dosa, Muhammad saw nabi penutup akhir zaman. Dia akan langsung mendapat teguran bila berbuat kesalahan walau sedikit.
Selebihnya tidak ada jaminan manusia bersih dari kesalahan. Ancaman setan untuk selalu membelokkan jalan lurus yang sedang diupayakan manusia selalu siap menghadang.