Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, anak-anak sudah ribut berkumpul di depan rumah Huda. Sang pemilik almari buku. Hari itu Minggu, Huda, pemuda dusun Dung Pasar yang kebagian peran sebagai penanggung jawab buku-buku rumah literasi  masih tidur. Biasanya jam segitu dia sudah berangkat kerja,  berhubung hari itu Minggu maka acara molor lepas Subuh dia lanjutkan. Â
Terganggu keramaian suara anak-anak usia TK hingga SD yang  ramainya menyerupai pasar,  ditingkah teriakan memanggil namanya, Huda bangun. Matanya terbangun, nanar melihat kerumunan mereka. Sebutir air bening jatuh,  haru. Tak dia sangka anak-anak itu begitu menginginkan buku.
Saya tersenyum mendapati hal demikian  di depan mata. Mana pernah diduga, gerakan kecil ini, membuat perpustakaan mini, embrio rumah literasi akan memperoleh sambutan meriah dari anak-anak dusun dung Pasar. Sebuah dusun rawan banjir yang keseharian penduduknya bermata pencaharian sebagai pencari kupang. Â
Ingin mengadakan  kegiatan bermanfaat saja mulanya, saya tawarkan semacam taman baca secara itu yang ada di kepala saya. Menggemakan literasi sebagai passion tak terpisahkan. Mendapat sambutan, mereka berharap  banyak dengan bersedia menyediakan  almari dan tempat berkumpul. Saya janjikan mencari bantuan buku untuk isi lemari. Syukurlah, saya dapatkan. Kompasianer Santoso Mahargono memberikan satu kardus buku bacaan. Itu yang saya berikan.
Minggu menjadi hari yang dinanti bagi anak anak itu, tunas bangsa yang padanya kita berharap menjadi generasi berbudi. Saya sempatkan datang, ingin betul melihat binar dari mata polos mereka. Mereka menggumuli buku-buku yang tersedia. Betul di sekolah mereka sudah bertemu buku, Â tapi buku rasa lain dengan membaca dalam situasi berbeda membuat mereka sangat antusias. Â
Terlebih ketika ada yang mengambil Juz Amma, yang dicetak dengan tampilan menarik, ada warna dengan gambar pula. Salah satu membaca dengan suara merdu, yang lain menyimak, berlanjut terus sampai beberapa surat selesai. Tetiba menggenang air di dua bola mata ini. Anak-anak itu, mampu menggetarkan hati dengan bacaan kalam suci.
Banyak anak yang sudah  selesai dengan sebuah buku. Mau mereka bergantian dengan temannya. Gaduh, karena teman yang lain belum selesai.  Akhirnya saya berinisiatif mengambil salah satu buku cerita pengetahuan. Tentang Gorilla dan kehidupannya. Â
"Siapa yang mau dengar cerita tentang Gorillaa!" Seru saya pada mereka yang mulai riuh.
"Saya! Saya!" telunjuk mengacung semua, Â teriakan bersahutan.
"Baiklah,  kalau begitu,  kita tunggu yang belum selesai  membaca, baru saya bercerita, oke!"
"Oke!"
Kata sepakat  didapat. Mereka sabar menanti temannya membaca, sambil mendampingi menyimak apa yang temannya baca. Â
Usai itu saya berikan pertanyaan seputar cerita yang saya bawakan tadi. Berebut menjawab, tepuk tangan saya ajak berikan ketika jawaban itu benar. Dan meminta mereka bernyanyi kalau salah. Gegap gempita suasana. Â
Akan pamit sebetulnya pada mereka,  namun permintaan  bercerita lagi membuat saya tertahan.  Harus ada orang yang bisa menggantikan saya, maka Irul,  pemuda setempat yang sedari tadi menemani saya minta tampil. Meski sedikit grogi  di awal tak mengapa, yang penting dia berani dan sudah menyelesaikan, hingga berakhir halaman. Buku Upin Ipin Puasa yang dia pilih untuk dibacakan, menjadi bahan cerita sudah cukup menarik bagi anak-anak.  Karena tokoh itu familiar, sehingga interaksi hangat merupa obrolan terjalin akrab. Â
Matahari makin tinggi, perjalanan lain harus saya jalani. Di tempat itu anak-anak melanjutkan acara membaca buku. Ditemani Irul sebagai fasilitator bila ada sesuatu yang ingin butuh penjelasan. Â
Sesuatu yang mulai dilupakan orang. Padahal dahulu nenek saya sering mendongeng bercerita tentang apa saja sebelum tidur. Atau ibu saya, dia suka membacakan saya buku sebelum tidur. Saya suka kegiatan  itu. Hingga tumbuh minat baca saya di kemudian hari. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H