Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menikah Itu Gampang! Yang Sulit Itu...

13 Januari 2020   12:26 Diperbarui: 13 Januari 2020   15:26 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menikah, menikahi, pernikahan, menikahlah!  

" Bun, saya ingin menikah,  tapi takut. "
"Takut kenapa?  Perasaan gak ada nuansa horor deh dari pernikahan."
" Kalau dilihat pestanya ya tidak ada,  tapi horornya itu akan hadir pasca pernikahan. "
"Horor di mananya?"
"Ngasih uang belanja,  dia pasti nuntut itu sesudah dinikahi."

Percakapan terus terjadi.  Sebut saja namanya Zal,  lelaki bukan pengangguran, ingin menikah, takut melangkah karena merasa penghasilan yang diaperoleh, menurut  kalkulasinya gak bakal cukup untuk menafkahi istri.

Tapi dia ingin punya pasangan,  untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya pada perempuan. Normal! itu Sunnatullah. Masalahnya adalah kalau hasrat itu dilampiaskan dengan jalan perhelatan pernikahan, sah di mata Tuhan dan manusia,  bayangan biaya besar memenuhi ruang kepala. Sehingga ide gila cuma sekedar berhubungan saja muncul di otaknya.

Kalau bisa beli sate kenapa beli kambing? Gak perlu nyari rumput buat ngidupin cukup nikmati sajian dagingnya saja. Sewaktu-waktu pingin ada, tersedia.  Kalau beli kambing ribet, dari menyediakan kandang, nyari rumput, hingga  menggembala. Semua butuh waktu  tenaga pikiran dan tentu saja uang.

Sejauh ini dia masih terselamatkan,  tidak berani beli sate. Takut dosa, disamping takut penyakit katanya.  Lalu saya sarankan "Menikahlah! Wajib hukumnya buat kau!"

Dia mengamini perkataan saya sembari menyergah, "Iya bundaku, menikah itu gampang, sesudahnya itu looh."

Dia benar,  menikah itu gampang. Tinggal menghadirkan saksi, ada wali, sah sudah. Di Kantor Urusan Agama atau catatan sipil sekarang prosesnya juga mudah.

Sebagaimana terbuang dalamPeraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama (Depag). Bahwa menikah di KUA itu gratis,  tidak dipungut biaya.

Kecuali kalau memanggil petugas dimuat jam kerja. Ada tarif resmi yang dikenakan,  yakni sebesar Tp. 600.000. Murah kan?

Dari sisi prosedur mudah,  dari sisi biaya murah. Itulah yang dia maksud gampang tadi.  Kesulitannya pada upaya menjalani pernikahan pasca proses itu. Ada tanggung jawab berat yang harus dia emban untuk itu.

Sampai-sampai muncul wacana sertifikasi pernikahan dalam hal ini.  

Seperti dilansir Kompas.com beberapa waktu lalu. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) berencana mencanangkan program sertifikasi perkawinan.

"Jadi sebetulnya setiap siapapun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga," kata Menko PMK Muhadjir saat ditemui di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).

Saya tidak tahu,  hadirnya sertifikasi ini akan membuat lelaki seperti Zal makin takut menikah atau bagaimana.  Yang jelas tujuan diadakannya sertifikasi itu sangatlah mulia.  

Antara lain untuk menciptakan SDM sehat seperti bebas dari stunting, cacat, dan lainnya. Begitu dikatakan Deputi VI Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Darmaputra dal kesempatan itu juga ketika bersama menko PMK.

Seseorang  harus mengikuti  program sertifikasi dahulu sebelum menikah, ada bimbingan pranikah. Bagi yang lulus bimbingan, maka ia berhak mendapatkan sertifikat dan bisa menikah. Kalau gagal yang gak jadi menikah. Wadaw

Over all, dengan atau tanpa sertifikasi menikah bukankah memang harus demikian adanya? Berani menikah ya harus berani bertanggung jawab. Jangan hanya bisa jawab saja tapi gak bisa nanggung ketika ada permasalahan.

Sejauh ini lebih banyak orang bisa menjalani pernikahan dengan sukses. Kita bisa belajar pada mereka yang berhasil  melewati rintangan pernikahan. Bahkan dari yang gagal menjalani hubungan pernikahan. Kasusnya bisa kita ambil pelajaran untuk tidak terjadi pada diri kita. Jadi kenapa harus takut?

Toh semua bisa dibicarakan. Kalau usia sudah matang,  tunggu apa lagi. Jalani saja dan Tuhan akan berikan  jalan keluar. Itu yang saya tekankan pada Zal.

"Ya bun,  cariin dong. Yang bisa nerima aku apa adanya,  yang tidak nuntut belanja diluar kemampuan. Kalau bisa yang mandiri."

"Ish,  hari gini minta dicarikan, hunting sendirilah. Kau banyak kenalan jugak."

Bargaining saya lakukan, dia nyari saya juga. Dengan harapan  semoga ada yang cocok. Tepok jidat saya jadinya. Macam hotline service aja.  Biro jodoh. Hadeeh

Lalu sebelum dia dapatkan jodoh itu. Keluhan dia utarakan lagi. "Trus,  kalau gak dapat-dapat gimana dong bun."

"Puasa!" Spontan saya jawab demikian.
Sebagaimana statemen yang sudah tertuang. "Kalau tidak mampu menahan diri maka berpuasalah."

Fix,  tidak boleh ditawar. Apalagi sampai punya pikiran beli sate. Tertawa lebar si Zal demi mendengar jawaban saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun